Di Belanda, migran asal Indonesia dinilai baik dan tidak menimbulkan masalah. Dibanding etnik lain, kepolisian jarang berurusan dengan imigran Indonesia. Orang-orang Belanda demen orang, dansa dan makanan Indonesia.
Polisi Belanda paling senang kalau ditugaskan menjaga keamanan acara-acaranya orang Indonesia. Mereka tahu di tempat itu jarang ada perkelahian, jarang ada keributan. Pelanggaran biasanya hanya sebatas ketertiban anak-anak yang berlari-lari keluar lokasi dan parkir liar saja.
Tidak Agresif
Acara orang Indonesia di Belanda hampir setiap pekan, seperti Pasar Malam, Indisch Avond, Dansavond, dan acara budaya lainnya. Biasanya saji dengan makanan Indonesia, lagu Indonesia dan tarian Poco-poco. Jenis lagu dan makananan ini pun tidak memberi efek agresif yang bisa memancing keributan. Berbeda banget dengan pesta yang memutar musik keras dengan dentuman kencang yang diproduksi oleh pengeras suara dan publiknya yang jingkrak-jingkrak sambil mutar-mutar kepala, pamer rambut panjang. Belum lagi kalau kalangan publik mereka itu mengkonsumsi suplemen yang mempengaruhi emosi.
Polisi Girang
Aparat polisi Belanda biasanya sudah kegirangan kalau mendapat jadwal menertibkan pesta Indonesia. Mereka sudah tahu saja hari itu santai dan tugasnya ringan, dan kalau mujur bisa dapat makan pula. Eka Tanjung beberapa kali mengamati aparat polisi yang bertugas di pesta Indonesia.
Bahkan polisi-polisi itu sepertinya rebutan sengaja merayu komendan supaya dapat tugas menjaga pesta Indonesia. Selain karena makanan, musik dan ketertibannya yang rapi, orang-orang Indonesia cenderung ramah dan patuh otoritas. Bapak-bapak datang melempar senyum kepada polisi. Dengan langkah-langkah kecil didampingi teman dan saudara. Anak-anak kecil yang minta difoto bersama polisi. Pak polisi sudah tahu itu dan menikmati saja.
Imej polisi Belanda lembut, dibanding polisi Amerika dan Indonesia yang lebih garang dan seperti menjaga jarak dengan warga. Penelitian di Belanda dua tahun lalu menunjukkan bahwa separoh warga Belanda menilai bahwa polisi terlalu soft atau lembek dalam menangani kasus. Selain itu warga Belanda menilai kepolisian sulit dihubungi kalau ada pelaporan. Sikap itu sebenarnya cocok untuk karakter bangsa Indonesia yang juga lembut di Belanda.
Kasihan Polisi
Walau demikian Eka Tanjung, agak kasihan kepada polisi ketika menghadapi para ibu-ibu Indonesia pengunjung pesta-pesta Indonesia. Ibu-ibu muncul dengan koleksi baju dan gaun pilihan, yang setahun tergantung di lemari. Dengan persiapan dandan sejak pagi, kaum hawa muncul satu persatu dengan setelan baju dan tas tangan, serta tatanan rambut yang tahan badai berkekuatan Wind Power 10.
Cara Bicara
Bukan soal kerapihan dan kewangian ibu-ibu Indonesia, yang membuat kasihan pada polisi. Tetapi cara mereka berbicara. Kalau ibu-ibu Indonesia ketemu dengan otoritas yang rapi seperti aparat polisi atau pabean biasanya saya melihat ada semacam kegugupan. Bicaranya setengah berteriak dan diucapkan cepat dengan intonasinya yang tidak pas, sehingga orang yang mendengarnya tidak faham arti harfiahnya.
Tapi itupun pak polisi Belanda bisa mengerti dan memahami maksudnya. Satu karena di tangannya lawan bicara ada semangkok atau sekotak nasi, bakmi dengan segala lauknya. Dan ibu-ibu ini menyampaikannya dengan senyum. “Wah berarti dapet makan kita,” simpul polisi.
Kalau Eka Tanjung boleh kasih saran kepada ibu-ibu, mohon kalau berbicara dengan pak polisi, tenang saja. Atau lebih baik tidak perlu mengeluarkan kata-kata. Pasang senyum di bibir merahmu, dan serahkan makanan itu dengan dua tangan. Cukup dengan “Nyoh panganen!” Dijamin 10 menit kemudian pak polisi sudah menghabiskan makanan itu.
Eksekusi enam terpidana kejahatan narkoba di Rutan Nusakambangan, beberapa hari silam, menyulut reaksi keras dari Belanda dan Brasil. Kedua negara itu memanggil pulang dubesnya dari Jakarta. Mengapa Belanda so lebay? Eka Tanjung dari Serbalanda mencoba memahami sikap Menlu Belanda, Bert Koenders.
Sebagai WNI yang sudah lebih seperempat abad berdomisili di Negeri Belanda ini, merasa sedikit banyak memahami pangkal pemikiran dari keputusan politik. Hal ini berkaitan komposisi kabinet di negara yang pemerintahannya selalu dibentuk oleh koalisi multi partai.
Saat ini Belanda diperintah oleh koalisi Rutte II, mayoritas tipis (Partai Liberal, VVD dan Partai Buruh PvdA) yang didukung 77 dari 150 kursi parlemen. Partai Liberal mendapat kursi Perdana Menteri Mark Rutte dan jabatan kunci seperti menteri dalam negeri, menteri keuangan dan menteri luar negeri menjadi jatah PvdA.
Menteri Luar Negeri Bert Koenders berasal dari partai Buruh, PvdA yang beraliran sosialis demokrat. Dia menggantikan Frans Timmermans, yang dipromosikan menjadi komisaris Uni Eropa pada 17 Oktober 2014 lalu. Partai Buruh ini berada di spektrum kiri dan dikenal mengedepankan kesejahteraan masyarakat di atas kebebasan individu dan kepentingan dagang. Dalam koalisi dengan partai Liberal, PvdA berusaha keras untuk ‘membuktikan’ sebagai pembela nasib wong cilik.
Sebuah perjuangan yang tidak mudah, ketika suhu pertumbuhan ekonomi global dan Belanda sedang kurang baik. Di satu sisi Partai VVD mengedepankan misi dagang dan menggenjot ekonomi, dengan meminimalisir campurtangan pemerintah kepada rakyatnya. Banyak fasilitas sosial yang mulai dipangkas dan masyarakat luas mulai kecewa karena banyak subsidi dikurangi.
Eksekusi Ang Kiem Soei warga Belanda kelahiran Papua Barat itu, sejatinya menjadi batu ujian berat bagi Bert Koenders yang baru tiga bulan menjabat sebagai menteri luar negeri. Ia mewarisi jabatan yang ditinggalkan oleh pendahulunya yang mengangkat nama PvdA di kancah dalam negeri dan internasional. Timmermans diabadikan setelah berpidato di Dewan Keamanan PBB pasca penembakan pesawat Malaysia MH17 di Ukraina. Tampaknya Koenders harus berbuat sesuatu dalam kasus Ang ini.
Simalakama
Jika melihat konstituennya dari kalangan Sosialis dan Demokrat, maka Koenders tidak punya pilihan lain kecuali membela wong cilik yang bernasib malang di luar negeri. Sebagai pembela partai Sosial Demokrat, PvdA yang baru saja kehilangan dua anggota parlemennya dari kalangan imigran Turki. PvdA dianggap kehilangan jati diri sosialnya untuk kalangan marjinal.
Eka Tanjung dari Serbalanda menilai bahwa Bert Koenders bernasib apes. Karena dia baru tiga bulan menjabat sudah berhadapan dengan masalah sulit. Kalau seandainya Ang dieksekusi di Thailand atau Amerika maka lebih mudah baginya untuk teriak keras dan mengancam dengan sanksi.
Jan Pronk
Koeders berasal dari partai yang sama dengan Jan Pronk mantan Menteri Kerjasama Pembangunan yang membuat marah Presiden Soeharto karena mengkritik pemerintah Indonesia. Pronk mensyaratkan bantuan IGGI dengan perbaikan kondisi HAM di Timtim, 1991.
Jilat-Jilat Dikit
Beda banget dengan menteri dari partai “dagang” seperti VVD dan D66, mereka lebih memahami untuk membuat pejabat Indonesia bangga. Tahun 1995 menteri perekonomian Hans Wijers membawa delegasi dagang ke Indonesia dan menyebut negeri kita sebagai “negara yang fantastis.” Seperti menunjukkan kesan bahwa Belanda melihat Indonesia segalanya sempurna, yang penting urusan dagang lancar-car. D66 dan VVD lebih sadar dan “masa bodo”. VVD sempat marah kepada PvdA karena deal gagal menjual tanks bekas Leopard ke Indonesia. PvdA saat itu memasalahkan kecemasan penyalahgunaan tanks untuk menindas rakyat sendiri.
VVD dan partai “dagang” lainnya sebenarnya lebih memahami situasi menyangkut Indonesia, negara yang masih menyimpan asa dan sakit dari penjajahan oleh negaranya. Setiap ungkapan yang muncul dari Belanda bisa diartikan keliru di Indonesia. Kepekaan sebenarnya disadari oleh Menlu Bert Koenders, tapi secara politis dia harus berbuat sesuatu.
Apes
Hal yang lebih sial lagi adalah lawan dialognya Menteri Luar Neger Retno Marsudi yang sangat tegas soal Belanda. Retno pada tahun 2006 lalu pernah mengutarakan kepada Eka Tanjung dalam wawancara dengan RNW (Radio Nederland) bahwa
“Soal HAM di indonesia, negara lain seperti Norway boleh mengkritik Indonesia. Tapi kami tidak bisa terima kritik dari Belanda. Karena pernah menjajah Indonesia,” (Retno 2006, Dubes Norway)
Sikap tegas pemerintah Indonesia pimpinan Joko Widodo sudah dirasakan pula oleh Raja Belanda, Willem-Alexander yang berupaya keras termasuk menelpon Presiden Jokowi secara pribadi, tidak membuahkan penundaan. Jika saja menteri luar negeri Belanda, dari partai Liberal yang mengutamakan kepentingan dagang, maka Belanda akan menimbang berulang kali sebelum memanggil pulang duta besarnya dari Indonesia.
Eka Tanjung menilai bahwa pada akhirnya semuanya akan baik lagi. Sampai saat ini Perdana Menteri Mark Rutte dari Partai dagang VVD, dan diduga punya darah Indonesia masih adem-ayem saja. Nanti pada waktunya Rutte yang akan menenangkan suasana. Yakin hubungan Indonesia – Belanda akan mesra lagi. Mungkin lebih mesra dari sebelum-sebelumnya.
Seperti dalam setiap rumah tangga atau keluarga, sehabis ribut biasanya disusul dengan kemesraan yang lebih indah.
Saya sempat sedih tidak diundang ke acara perpisahan Menlu Retno Marsudi dengan masyarakat Indonesia di Belanda. Namun akhirnya kesedihan terhibur oleh-oleh Oom Wahyu Koen. Ceritanya begini..
Selasa dini hari 13 Januari 2015 saya kesulitan mengartikan perasaan ketika menyaksikan tayangan video Youtube dari acara perpisahan Dubes Retno Marsudi dengan masyarakat Indonesia di Belanda. Saya sejatinya merasa dekat dengan mantan Dubes Belanda itu, tapi juga sekaligus merasa jauh.
Dubes Retno menjamu tim RNW, 19-03-06
Sejarahnya begini.. Pada tahun 2006 saya bertemu Bu Retno pertama kali di Oslo Norwegia ketika bertugas sebagai Dubes di negeri itu. Saya ke Skandinavia dalam rangka liputan Wisnu Witono Adhi, anak Jakarta yang lolos babak akhir Idols Norway.
Kami bertiga dari Radio Nederland merasa diterima dengan baik oleh Retno Marsudi dan para diplomat Indonesia di Norway yang kebetulan sedang menggelar acara pameran Batik.
Dari pertemuan pertama itu Eka Tanjung bisa menangkap kesan, dubes ini terus melakukan promosi Indonesia di setiap kesempatan. Dan kedua dia tegas, kecil-kecil cabe rawit. Dalam wawancara soal konflik Aceh waktu itu, aku dengar sikap tegasnya terhadap Belanda.
“Kalau negara seperti Norway mengkritik soal HAM di Indonesia, kami bisa terima. Tapi kalau kritik itu datangnya dari Belanda, kita tidak bisa terima. Karena kita mengalami penjajahan oleh Belanda.” (Retno Marsudi, 2006)