Eksekusi enam terpidana kejahatan narkoba di Rutan Nusakambangan, beberapa hari silam, menyulut reaksi keras dari Belanda dan Brasil. Kedua negara itu memanggil pulang dubesnya dari Jakarta. Mengapa Belanda so lebay? Eka Tanjung dari Serbalanda mencoba memahami sikap Menlu Belanda, Bert Koenders.
Sebagai WNI yang sudah lebih seperempat abad berdomisili di Negeri Belanda ini, merasa sedikit banyak memahami pangkal pemikiran dari keputusan politik. Hal ini berkaitan komposisi kabinet di negara yang pemerintahannya selalu dibentuk oleh koalisi multi partai.
Saat ini Belanda diperintah oleh koalisi Rutte II, mayoritas tipis (Partai Liberal, VVD dan Partai Buruh PvdA) yang didukung 77 dari 150 kursi parlemen. Partai Liberal mendapat kursi Perdana Menteri Mark Rutte dan jabatan kunci seperti menteri dalam negeri, menteri keuangan dan menteri luar negeri menjadi jatah PvdA.
Menteri Luar Negeri Bert Koenders berasal dari partai Buruh, PvdA yang beraliran sosialis demokrat. Dia menggantikan Frans Timmermans, yang dipromosikan menjadi komisaris Uni Eropa pada 17 Oktober 2014 lalu. Partai Buruh ini berada di spektrum kiri dan dikenal mengedepankan kesejahteraan masyarakat di atas kebebasan individu dan kepentingan dagang. Dalam koalisi dengan partai Liberal, PvdA berusaha keras untuk ‘membuktikan’ sebagai pembela nasib wong cilik.
Sebuah perjuangan yang tidak mudah, ketika suhu pertumbuhan ekonomi global dan Belanda sedang kurang baik. Di satu sisi Partai VVD mengedepankan misi dagang dan menggenjot ekonomi, dengan meminimalisir campurtangan pemerintah kepada rakyatnya. Banyak fasilitas sosial yang mulai dipangkas dan masyarakat luas mulai kecewa karena banyak subsidi dikurangi.
Eksekusi Ang Kiem Soei warga Belanda kelahiran Papua Barat itu, sejatinya menjadi batu ujian berat bagi Bert Koenders yang baru tiga bulan menjabat sebagai menteri luar negeri. Ia mewarisi jabatan yang ditinggalkan oleh pendahulunya yang mengangkat nama PvdA di kancah dalam negeri dan internasional. Timmermans diabadikan setelah berpidato di Dewan Keamanan PBB pasca penembakan pesawat Malaysia MH17 di Ukraina. Tampaknya Koenders harus berbuat sesuatu dalam kasus Ang ini.
Simalakama
Jika melihat konstituennya dari kalangan Sosialis dan Demokrat, maka Koenders tidak punya pilihan lain kecuali membela wong cilik yang bernasib malang di luar negeri. Sebagai pembela partai Sosial Demokrat, PvdA yang baru saja kehilangan dua anggota parlemennya dari kalangan imigran Turki. PvdA dianggap kehilangan jati diri sosialnya untuk kalangan marjinal.
Eka Tanjung dari Serbalanda menilai bahwa Bert Koenders bernasib apes. Karena dia baru tiga bulan menjabat sudah berhadapan dengan masalah sulit. Kalau seandainya Ang dieksekusi di Thailand atau Amerika maka lebih mudah baginya untuk teriak keras dan mengancam dengan sanksi.
Jan Pronk
Koeders berasal dari partai yang sama dengan Jan Pronk mantan Menteri Kerjasama Pembangunan yang membuat marah Presiden Soeharto karena mengkritik pemerintah Indonesia. Pronk mensyaratkan bantuan IGGI dengan perbaikan kondisi HAM di Timtim, 1991.
Jilat-Jilat Dikit
Beda banget dengan menteri dari partai “dagang” seperti VVD dan D66, mereka lebih memahami untuk membuat pejabat Indonesia bangga. Tahun 1995 menteri perekonomian Hans Wijers membawa delegasi dagang ke Indonesia dan menyebut negeri kita sebagai “negara yang fantastis.” Seperti menunjukkan kesan bahwa Belanda melihat Indonesia segalanya sempurna, yang penting urusan dagang lancar-car. D66 dan VVD lebih sadar dan “masa bodo”. VVD sempat marah kepada PvdA karena deal gagal menjual tanks bekas Leopard ke Indonesia. PvdA saat itu memasalahkan kecemasan penyalahgunaan tanks untuk menindas rakyat sendiri.
VVD dan partai “dagang” lainnya sebenarnya lebih memahami situasi menyangkut Indonesia, negara yang masih menyimpan asa dan sakit dari penjajahan oleh negaranya. Setiap ungkapan yang muncul dari Belanda bisa diartikan keliru di Indonesia. Kepekaan sebenarnya disadari oleh Menlu Bert Koenders, tapi secara politis dia harus berbuat sesuatu.
Apes
Hal yang lebih sial lagi adalah lawan dialognya Menteri Luar Neger Retno Marsudi yang sangat tegas soal Belanda. Retno pada tahun 2006 lalu pernah mengutarakan kepada Eka Tanjung dalam wawancara dengan RNW (Radio Nederland) bahwa
“Soal HAM di indonesia, negara lain seperti Norway boleh mengkritik Indonesia. Tapi kami tidak bisa terima kritik dari Belanda. Karena pernah menjajah Indonesia,” (Retno 2006, Dubes Norway)
Sikap tegas pemerintah Indonesia pimpinan Joko Widodo sudah dirasakan pula oleh Raja Belanda, Willem-Alexander yang berupaya keras termasuk menelpon Presiden Jokowi secara pribadi, tidak membuahkan penundaan. Jika saja menteri luar negeri Belanda, dari partai Liberal yang mengutamakan kepentingan dagang, maka Belanda akan menimbang berulang kali sebelum memanggil pulang duta besarnya dari Indonesia.
Eka Tanjung menilai bahwa pada akhirnya semuanya akan baik lagi. Sampai saat ini Perdana Menteri Mark Rutte dari Partai dagang VVD, dan diduga punya darah Indonesia masih adem-ayem saja. Nanti pada waktunya Rutte yang akan menenangkan suasana. Yakin hubungan Indonesia – Belanda akan mesra lagi. Mungkin lebih mesra dari sebelum-sebelumnya.
Seperti dalam setiap rumah tangga atau keluarga, sehabis ribut biasanya disusul dengan kemesraan yang lebih indah.
Retno Marsudi membawa misi dalam tiap tugasnya. Sebagai Dubes di Norway misi diplomasi Batik, di Belanda giliran Kuliner dan sekarang ini sebagai Menlu tampaknya membawa senjata “Diversitas.” Eka Tanjung mengingat sekelumit langkah Srikandi Indonesia lewat rekaman video acara perpisahan dengan warga Indonesia.
Malam Dingin
Jari-jemari mulai tergelitik menulis sejak nonton Youtube. Ceritanya bermula kemarin dini hari. Selesai membuat tulisan tentang sepak bola Belanda, di malam yang sunyi dan udara di ruang kamar yang mulai ngedrop ke 2 derajat Celsius, aku berencana naik ke kamar di lantai satu untuk tidur. Saya kemasi alat tulis, kertas, bungkus kacang yang terbuka kosong dan berserakan di atas meja. Membawa muk kopi yang nyaris kosong tinggal ampasnya dan gelas bekas minum Air Jeruk yang menyisakan kuning di dasarnya. Ketika itu aku dengar suara.
Video
“bliiing.. bliiing” beberapa kali dari laptop di pojok meja. Pertanda ada pesan atau posting masuk di salah satu media sosial Twitter, Facebook atau email. Ku pijit tombol ‘enter’ untuk membangunkan laptop dari posisi standby nya. Setelah layar menyala terlihat ada beberapa posting dari seorang kawan bernama Wahyu Koen. Perhatianku terhisap ke beberapa video cuplikan dari acara perpisahan Retno Marsudi.
Mencicipi Suasana
Tampaknya Oom Koen ingin share pengalaman dari acara di Rijswijk dekat Den Haag itu kepada kawan-kawan di media Facebook. Kawan yang hanya ku kenal lewat media sosial dan nota bene kami tidak terkait pertemanan, bisa membawa saya mencicipi suasana malam perpisahan. Dengan rekaman video Youtube ini saya jadi bisa melihat kawan-kawan yang hadir dan menyelami perasaan mereka. Untuk itu saya disini ingin berterima kasih pada Oom Wahyu Koen.
Den Haag
Dari 10 video yang diunggah Wahyu ke Youtube, aku tonton hampir semuanya. Terutama sambutan dari Retno Marsudi dan doa bersama. Saya tonton sampai dua kali. Di rekaman berdurasi 10 menitan itu mantan dubes Belanda dan Norway menuturkan tentang sejarahnya dia bertugas di Den Haag periode pertama sebagai diplomat dan kedua sebagai duta besar.
Menlu Retno yang berbekal contekan kertas kecil, mengisahkan proses cepat penunjukkannya menjadi Menteri Luar Negeri. Dan menyampaikan rasa bangga, sebagai wanita pertama Indonesia yang menjabat menteri luar negeri. Dia menyadari beratnya tugas sebagai Menlu.
Lalu ungkapan syukur atas perampungan tugasnya di Belanda. Dan dia terkesan merasa misinya berhasil mempererat hubungan Belanda-Indonesia. Dia menyebutkan puncak hubungan baik dan kepercayaan Indonesia Belanda dengan terbentuknya Kemitraan Komprihensif. Silakan saksikan pesannya di video ini:
Diplomasi Kuliner
Dengan hubungan yang begitu pelik antara Indonesia dan Belanda, dubes ini mampu mencapai kesepakatan kemitraan kedua negara dan mengundang PM Mark Rutte datang ke Jakarta. Padahal usai menyerahkan surat-surat kepercayaannya kepada Ratu Belanda, dia menyebutkan misinya adalah Diplomasi Kuliner.
“Whaaat…” pikir banyak orang ketika mendengar Diplomasi Kuliner. Tapi ternyata kita bisa menyimpulkan beberapa tahun kemudian. Itu adalah bahasa diplomasi Jawa.
Saya jadi ingat cerita Eyang Kakung Sastrodiwirjo yang mantri Polisi di Gemolong dan Sumberlawang di era tahun 1960an. Beliau sering menangani kasus kejahatan begal atau pencurian sapi. Menurut eyang putri, Kakung kalau datang ke rumah orang yang dimintai keterangan dan kesaksian, jawabannya sama.
Kalau si tuan rumah bertanya: Ada apa datang ke mari pak matri?
Kakung: Ora ono opo-opo, saya cuman ingin mampir minta minum saja. (Mampir ngombe)
Nah ini yang saya perhatikan ada di Menlu Retno juga. Ternyata sambil berkuliner ‘diselingi’ obrolan serius. Mantan siswa SMA 3 Semarang itu di depan seratusan tamu undangan, menyatakan rasa terhormat dengan penugasan selama di Belanda, negara bermasyarakat Indonesia yang besar. Ia menikmati di Belanda dan merasa diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Menurut Eka Tanjung, sejauh itu kata sambutannya standar dari seorang diplomat yang ulung. Itu memang pekerjaannya sehari-hari. Tekankan yang positif dan hindari ungkapan pedas.
Saya melihat inti penyampaian Menteri Luar Negeri Indonesia yang lebih penting. “Saya mendapat tugas yang tidak mudah sebagai menlu.” Mmmm.. Ya memang semua tugas tidak ada yang mudah, kalau dikerjakan secara serius. Atau ungkapan itu menyimpan arti yang lebih dalam?
Arah Indonesia
Sebagai Menlu, malam kemarin Retno Marsudi bermain keren. Dia pakai kesempatan bicara di Belanda untuk menyampaikan pesan yang jelas tentang satu sisi penting arah Indonesia beberapa tahun ke depan. Sebagai wartawan, Eka Tanjung biasa menilai sikap seseorang ketika menanggapi suatu kejadian besar.
Retno Marsudi menyampaikan keprihatinan akan pembunuhan belasan pekerja tabloid satir, Charlie Hebdo di Paris.
“Kita prihatin dengan kejadian di Paris, yang mengatasnamakan apapun. Itu sebenarnya tidak boleh terjadi.” Itu ungkapan standar yang juga akan disampaikan pada pidato di depan publik Belanda atau internasional.
Eka Tanjung melihat imbauan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia di Belanda dan di Indonesia disini:
“Indonesia adalah negara yang sangat majemuk…. Saya ingin bangsa Indonesia yang berbeda-beda, menebarkan cinta kasih kepada dunia. .. Sehingga dengan perbedaan, kita bisa hidup damai di dunia ini.”
Pesan yang terkandung ini sebenarnya mengena langsung kepada bangsa Indonesia, dimana pun. Termasuk di Belanda. Eka Tanjung melihat saat ini bangsa Indonesia masih terkotak-kotak menjadi kubu-kubu pasca pemilu presiden. Polemik pilpres ini masih terasa dan memperkuat ketidakakuran yang sudah ada dalam masyarakat muslim Indonesia di Belanda.
“Dengan perbedaan kita bisa hidup damai. make the world safer for diversity. Jadikan dunia ini tempat yang lebih aman dengan kemajemukan.”
“make the world safer for diversity”
Pamitan
Retno dengan sopannya, berpamitan pada masyarakat Indonesia yang hadir maupun yang tidak bisa hadir di Rijswijk. “Saya pulang dengan rasa senang. Saya tahu, meninggalkan cinta kasih. Silaturahmi yang tidak terputus. Sebagai anak bangsa, kita teruskan persaudaraan. Indonesia majemuk. Majemuk ini harus dikedepankan kepada dunia. Minta maaf kalau ada kesalahan. Terima Kasih, Terima Kasih dan Terima Kasih.”
Eka Tanjung ikut terharu dan memang mengakui karir melejit yang dijalani Srikandi asal Semarang kelahiran 27 November 1962 itu. Orangnya sederhana, pendapatnya tajam dan ingatannya kuat. Mulai sekarang ia bersenjatakan panah bertuliskan: “make the world safer for diversity” Siap mengarungi dunia. Semoga ia sukses dengan misinya. DAN rakyat Indonesia juga bisa memaknai arti diversitas itu. Jangan sampai Indonesia sukses meyakinkan dunia menjadi “safer for diversity” tapi di dalam negeri masih saja gantok-gontokan karena perbedaan.
Seumpama sosok Retno adalah Gajah, maka tulisan ini hanya pendapat dari satu sisi ganjah itu. Saya tidak melihat dari ekornya dan tidak dari atas, tapi dari samping dengan rasa hormat dan kagum. Perempuan kecil tapi bernyali Gajah!
Saya sempat sedih tidak diundang ke acara perpisahan Menlu Retno Marsudi dengan masyarakat Indonesia di Belanda. Namun akhirnya kesedihan terhibur oleh-oleh Oom Wahyu Koen. Ceritanya begini..
Selasa dini hari 13 Januari 2015 saya kesulitan mengartikan perasaan ketika menyaksikan tayangan video Youtube dari acara perpisahan Dubes Retno Marsudi dengan masyarakat Indonesia di Belanda. Saya sejatinya merasa dekat dengan mantan Dubes Belanda itu, tapi juga sekaligus merasa jauh.
Dubes Retno menjamu tim RNW, 19-03-06
Sejarahnya begini.. Pada tahun 2006 saya bertemu Bu Retno pertama kali di Oslo Norwegia ketika bertugas sebagai Dubes di negeri itu. Saya ke Skandinavia dalam rangka liputan Wisnu Witono Adhi, anak Jakarta yang lolos babak akhir Idols Norway.
Kami bertiga dari Radio Nederland merasa diterima dengan baik oleh Retno Marsudi dan para diplomat Indonesia di Norway yang kebetulan sedang menggelar acara pameran Batik.
Dari pertemuan pertama itu Eka Tanjung bisa menangkap kesan, dubes ini terus melakukan promosi Indonesia di setiap kesempatan. Dan kedua dia tegas, kecil-kecil cabe rawit. Dalam wawancara soal konflik Aceh waktu itu, aku dengar sikap tegasnya terhadap Belanda.
“Kalau negara seperti Norway mengkritik soal HAM di Indonesia, kami bisa terima. Tapi kalau kritik itu datangnya dari Belanda, kita tidak bisa terima. Karena kita mengalami penjajahan oleh Belanda.” (Retno Marsudi, 2006)