Di Belanda, jarang ada kunjungan spontan ke tetangga lebih jauh dari 5 rumah di samping. Namun mereka menciptakan momen-momen tertentu untuk bisa beranjangsana.
Seperti Malam Sint Maarten. Serbalanda melihatnya hari Sint Maarten ini sebuah kearifan Belanda yang sangat baik untuk bermasyarakat. 11 November dari pukul 18.00 – 20.00 PM. Anak-anak mendatangi rumah dari pintu ke pintu. ” dari pintu ke pintu, ku tawarkan.. lagu Sinte-sinte Mik .. mak.”
Setelah anak-anak memijit bel rumah tetangga dan sang empunya membuka pintu, maka nanyian dari kerongkongan kecil-kecil itu berkumandang. Satu rumah, satu lagu “Sint Maarten” di depan pemilik rumah. Satu tangan memegang lampion, atau tongkat berujungkan lampu pakai batrei. Ada lampion buatan sendiri ada yang beli di toko. Macam lagu ada minimal 5 lagu, atau mungkin lebih.
Usai bernyanyi, maka sang pemilik biasanya melontarkan pujian. “Mooi gezongen zeg!” “Nyanyinya bagus lho!” atau kalau pelantunnya mengeluarkan suara kurang enak di telinga, pemilik akan mencari hal lain yang membuat anak senang. “Wat heb je een mooi lampion.” Lampu kamu bagus! Karena anak-anak selalu membawa lampion saat bernyanyi itu.
Usai lagu berdurasi 30 detikan itu, maka si pemilik rumah akan menyodorkan piring atau bejana atau keranjang berisikan bermacam gula-gula atau candies. Anak-anak boleh mengambil seorang satu. Atau kalau pelantunnya sendiri dan pemiliknya baik hati, bahkan boleh ambil lebih dari satu candy. Belakangan sudah mulai banyak pula yang memilih untuk menawarkan jeruk atau apel sebagai hadiah nyanyi. Itu lebih sehat dan mendidik menurut Serbalanda.
Sekitar satu jam anak-anak ngider, biasanya mereka jalan bergerombol ber dua-tiga atau berlima. Dengan ada pendamping satu orang dewasa. Untuk jaga-jaga kalau ada hal yang tidak diiginkan. Anak jatuh atau kesasar, maklum sudah malam dan gelap.
Seusai ngider sekitar satu atau dua jam, anak-anak pulang ke rumah dengan masing-masing membawa candies dan gula-gula seransel penuh. Walaupun secara nominal mungkin nilai hasilnya itu tidak sampai 5 euro, tapi makna sosialnya yang sangat besar. Anak-anak memahami bahwa “bernyanyi untuk orang lain” kebaikan akan mendatangkan kebaikan pula.
Mereka senang, untuk sebulan ke depan tidak perlu lagi jajan. Kami orang tua yang mengawasi mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak. Sehubungan dengan kadar gula berlebihan atau gelatine. Setiap orang tua punya aturannya masing-masing. Intinya anak anak senang dan dia sudah berkenalan dengan tetangga lagi. Saling Memberi Salam Adalah Hal yang Baik
Kesempatan untuk bersilaturahim dengan tetangga di kampung. 100 rumah kiri kanan, 100 rumah depan belakang. Dan mengajari anak untuk bersosialisasi dan menghargai. Berucap terima kasih ketika menerima sesuatu.
Perlu disampaikan juga bahwa tidak semua rumah berpartisipasi atau menyiapkan gula-gula atau candies untuk anak-anak. Ada rumah yang gelap karena tidak di rumah, atau ada di rumah tapi tidak ikut serta. Mereka biasanya memasang tulisan di pintu. “Maaf, tahun ini kami tidak ikut serta Sint Maarten.” Dengan tulisan di pintu, anak-anak tidak perlu lagi berharap. Tidask ikutan bukan sebuah kehinaan, tapi tentu mereka punya alasannya. It’s okay. Kejujuran Harus Bisa Diterima.
Dari rekaman video di bawah ini bisa terdengar sayup suara Alifa Mansini dan Renzio temannya menyanyikan lagu. Setelah itu sang pemilik rumah melontarkan apresisasi.
“Wat mooi lampionnen hebben jullie!” Alifa dengan lantang menjawab: “Danku wel. En Wat een mooi huis.” “Terima Kasih. Rumahnya bagus banget!” Dan pemilikpun menjawab:Terima Kasih. Alifa dan Renzio mengambil gula-gula dan mengatakan “Danku Wel”
Masyarakat Indonesia di Belanda membicarakan printer di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag Belanda. Mesin cetak paspor di perwakilan Indonesia itu sudah tiga minggu rusak, banyak warga Indonesia kelimpungan. Eka Tanjung menduga masalah inti adalah anggaran.
Di group Facebook Indonesian Living in Holland, ILH belakangan ini muncul berbagai keluhan soal service Kedutaan Indonesia di Den Haag Belanda. Pasalnya karena printer di bagian imigrasi sedang rusak. Sehingga pencetakan paspor menjadi terhambat untuk waktu beberpa pekan. KBRI Den Haag mengumumkan pada tanggal 25 Februari, bahwa printer baru akan tiba dua pekan lagi.
Sumber: Facebook
Pada tanggal 16 Maret, tiga minggu kemudian printer masih juga belum beroperasi. Banyak warga mulai gelisah. Salah seorang anggota forum yang ingin memperpanjang paspornya yang sudah mati, mengeluhkan bahwa telepon di KBRI tidak diangkat. Anggota lain berhasil menghubungi pekerja KBRI, Pak Norman. Disebutkan bahwa printer kemungkinan belum bisa diperbaiki di bulan Maret ini.
Persoalan menjadi serius karena banyak warga Indonesia yang membutuhkan paspornya untuk bepergian ke luar negeri. Paspor merupakan dokumen paling penting ketika menyeberangi perbatasan negara. Keresahan itu bisa dimengerti, karena orang Indonesia terkenal patuh aturan, paling tidak kalau di luar negeri.
Sumber: Facebook
Sebagai pemecahannya perpanjangan pastor kemungkinan akan dikirim ke perwakilan Indonesia di Brussel Belgia. Sebagai negara terdekat dengan Belanda. Jalan keluar sementara yang tidak bisa dilakukan seterusnya. Bahkan ada yang mengkritik, mengapa tidak ada back-up atau printer cadangan.
Sumber: Facebook
Masalah Dana
Eka Tanjung dari Serbalanda mencoba memahami masalah printer ini, dan mencoba berspekulasi dengan menyandarkan logika dan data dari tulisan opini di Jawapos. Persoalan yang barang kali sedang terjadi di KBRI adalah masalah dana. Tidak ada uang untuk memperbaiki atau membeli printer baru. Penulis yakin sumber masalahnya bukan masalah SDM, profesionalitas pekerja atau masalah organisasi.
Kalau di Belanda ini, sudah cukup banyak perusahaan yang bisa memberikan service untuk perbaikan semua peranti elektronik. Jangankan printer yang tidak terlalu rumit, mesin ATM saja ada servicenya.
Semakin cepat service yang diinginkan, tarifnya tentu semakin tinggi pula. Penulis menduga saat ini tidak ada dana yang bisa dialokasikan untuk mengganti atau memperbaiki printer ini. Mungkin warga Indonesia di Belanda yang ‘dirugikan’ oleh kerusakan printer ini sangat kecewa. Dan rasa yang minus itu bisa melahirkan spekulasi dan membandingkan dengan masa lalu.
“Kok pelayananan KBRI tidak baik ya?!” “Wah kalau zamannya Ibu Dubes Retno Marsudi, ini tidak akan terjadi.” Dan seterusnya.
Kasus ini mengingatkan penulis pada salah satu publikasi beberapa bulan lalu soal kondisi keuangan KBRI yang sebenarnya tidak optimal. Kasarnya, dana yang dikucurkan dari Jakarta untuk perwakilan Indonesia di luar negeri itu sangat minim.
Opini yang ditulis mantan Duta Besar Indonesia di Swiss, Djoko Susilo di Jawa Pos berjudul ” Menlu Retno dan Nasib “Wong Cilik” di Kemenlu” mengungkap masalah di jajaran perwakilan Indonesia di Luar Negeri. “Dibutuhkan dukungan total semua pemangku kepentingan agar tujuan politik luar negeri berhasil bagi kepentingan nasional.”
Anggaran Kecil
Salah satu butir yang disebutkan mantan wartawan Jawapos itu bahwa Menteri Luar Negeri Retno Marsudi harus mengatasi masalah anggaran Kemenlu yang kelewat kecil. Sejatinya para diplomat di luar negeri itu mendapat ‘bayaran’ gaji yang rendah. Mereka dianggarkan dalam bentuk Rupiah dan dibayarkan dalam bentuk Dollar US. Jadi kalau US Dollar sedang tinggi dan rupiah rendah, bisa dibayangkan gaji yang diterima kawan-kawan home staf (diplomat penempatan dari Jakarta) maupun local staf (pekerja yang diangkat di tempat perwakilan) menjadi lebih kecil lagi.
Salah Duga
Setelah membaca opini Djoko Susilo, penulis jadi tercerahkan. Jadi merasa salah duga selama ini. Sementara itu kami warga Indonesia di Belanda, beranggapan KBRI punya banyak uang. Sampai zaman Dubes Fanny Habibie (almarhum) saja, penulis masih beranggapan KBRI banyak uang. Karena acara-acara yang digelar oleh KBRI biasanya meriah dan memakan banyak dana.
Anggapan itu mulai berubah di era Dubes Retno yang lebih sederhana dalam beracara dan berpesta. Idul Fitri maupun acara-acara lain tampak lebih sederhana. Kendati demikian Eka Tanjung tidak pernah menduga bahwa dana untuk KBRI sejatinya mepet atau pas-pasan seperti yang dipaparkan Djoko Susilo di Jawa Pos itu.
Penulis tidak punya alasan untuk meragukan kebenaran dari pemaparan Djoko Susilo, karena dia sendiri mengalami secara langsung ketika menjadi Duta Besar di Bern, Swiss. Sedangkan selama ini diplomat-diplomat di Den Haag yang dikenal oleh penulis tidak ada yang berterus terang soal anggaran.
Masyarakat Indonesia di Belanda sering menyaksikan para pejabat dari Indonesia yang datang ke Belanda, minta diservice oleh KBRI. Bahkan ada juga pejabat yang datang untuk kepentingan pribadi, masih minta diantar ke sana kemari mengunjungi tempat-tempat wisata. Hal semacam itu menambah beban tenaga dan dana bagi anggaran KBRI yang tidak banyak.
Eka Tanjung tidak menyebutkan semua pejabat Indonesia ingin memanfaatkan KBRI. Belakangan sudah banyak pula pejabat yang menggunakan jasa transportasi wisata yang bersifat privat ketika berkunjung ke Belanda dan negara lain Eropa. Bukan dari KBRI tapi dari kawan-kawan Indonesia yang memiliki usaha transportasi dan wisata.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang nota bene adalah mantan Duta Besar RI di Belanda diharapkan oleh Djoko Susilo agar meninjau kembali anggaran yang sangat minim itu. Dana yang dibutuhkan untuk memajukan kepentingan Indonesia di luar negeri. Bukan untuk menjamu pejabat yang datang ke Belanda untuk kepentingan pribadi.
Sebagai bagian dari pemerintahan Jokowi yang memperhatikan ‘wong cilik’ Menlu Rento diminta untuk memperhatikan nasib pada pekerja lokal, seperti Pak Norman di KBRI Den Haag. Upah mereka tidak banyak dan sangat tergantung pada kebaikan dari Duta Besar.
Sumber: Jawapos
Kasus Printer di KBRI Den Haag itu membawa dua pesan, pertama bahwa politik “wong cilik” yang dicanangkan oleh Jokowi dan diamini oleh Menlu Rento Marsudi, masih belum membawa efek yang diharapkan. Sebab para WNI wong cilik di Belanda justru merasa kelimpungan dengan diplomasi blusukan ini.
Namun demikian sebagai warga Indonesia di luar negeri, alangkah baiknya untuk memahami kondisi bangsa saat ini, khususnya dana minim yang diterima perwakilan Indonesia di luar negeri, seperti yang dipaparkan Djoko Susilo. Kita harus bahu membahu dan banyak bekerjasama untuk bisa membangun nama baik Indonesia di luar negeri.
Melihat kondisi banjir yang sudah mulai sering melanda Tanah Air, kami makin semangat mengirimkan si bungsu untuk belajar renang. Fungsinya jadi ganda, untuk di Belanda dan Indonesia. Sebab salah satu olah raga yang pertama-tama diperkenalkan kepada anak-anak di Belanda adalah berenang. Ketika anak berusia lima tahun, sudah mulai les renang. Negeri yang terletak bawah permukaan air laut ini mengenal tahapan Diploma A, B dan C.
Sabtu 7 Februari 2015 lalu penulis mengantar Alifa Mansini, si bungsu menempuh ujian berenang. Undangan kami terima pekan lalu sebelumnya dari gurunya. Setelah Alifa mengikuti ujian percobaan atau di Belanda disebutnya “proef examen,” maka Sabtu berikutnya kami sekeluarga diperbolehkan untuk menyaksikan ujian “afzwemmen,” atau merampungkan renang.
Pekan lalu itu, ketika dikatakan ujian percobaan, sebenarnya Alifa sedang menjalani ujian yang sesungguhnya. Sekolah berenang di seluruh Belanda sengaja tidak menyebutkan haru ujian sebagai hari yang sangat menegangkan. Dikatakan kepada anak-anak bahwa pekan depan dia bisa mengikuti proef examen “ujian percobaan.” Padahal tanpa disadari, mereka sudah menjalankan ujian renang Diploma C.
Kalau dia dinyatakan lulus ujian itu maka anak mendapat lembaran khusus berisikan undang untuk afzwemmen. Pekan berikutnya dia bisa datang “ujian” dengan mengundang para sanak saudara untuk menyaksikan di sepanjang kolam renang. Anak-anak dengan bahagianya melakukan semua arahan gurunya. Mempertontonkan kemahirannya kepada kakak, kakek, nenek dan orang tua.
Diploma C
Jika anak mengantongi ijazah renang C maka dia sudah dikatakan renang tahap lanjut, dengan menguasai berbagai aspek.
Berpakaian Lengkap
Loncat ke air dengan cara koprol, disusul dengan watertrappen 15 detik, kemudian 30 detik mengapung dalam posisi badan tegap dengan memegang alat bantu. (lihat video 1)
Loncat ke air dengan cara meloncat, dilanjutkan dengan renang gaya Dada sepanjang 50 meter. 1 kali menyelam di bawah papan dan 1 kali memanjat dan melewati papan.
Berenang 50 meter gaya Punggung. Ujian berpakaian diakhiri dengan keluar secara mandiri dari air ke darat.
Video 1. Berpakaian Renang
Loncat ke air dengan menyelam sepanjang 9 meter dan bertahan di bawah.
Berenang gaya Dada 100 meter, diselingi dengan 1 kali koprol ke depan dan 1 kali kaki vertikal ke udara, kepala ke dasar. Ditutup dengan gaya Punggung 100 meter.
Loncat ke air dengan menukik, langsung disusul dengan mengambang 5 detik, gaya dada beberapa meter kemudian 10 detik mengambang dengan dada.
Loncat ke air dari dinding kolam, disusul 5 detik mengambang di punggung, dilanjutkan dengan renang gaya punggung dan 20 detik mengambang di atas punggung. Diakhiri dengan renang gaya punggung hanya menggunakan tangan.
Meluncur dari dinding kolam, disusul Gaya Bebas 15 meter.
Meluncur dari dinding kolam, disusul Gaya Punggung 15 meter.
Loncat ke air dengan squat jump, disusul 30 detik water treading atau berjalan di air, dibantu lengan dan kaki menuju ke berbagai arah. Bertahan mengambang 30 detik vertikal dengan bantuan gerakan tangan.
Video lengkap tentang persyaratan ujian renang bisa disaksikan: Video Renang Diploma C
Takut Air
Untuk umurnya yang belum genap 7 tahun, Alifa Mansini sejatinya termasuk cepat dalam meraih diploma C. Sebab Sarah kawan sekelasnya yang sudah setahun lebih tua, masih menempuh Diploma A. Menurut ibunya, Sarah memiliki trauma terhadap air. Aspek takut air itu yang akan diperhatikan dan diperbaiki oleh sekolah renangnya. Guru-gurunya sudah terdidik untuk memberikan pelatihan berdasarkan standarisasi nasional, di bawah pengawasan dari Asosiasi Renang Nasional Belanda, KNZB.
Sistem pengelompokan Diploma A-B-C itu diterapkan sejak tahun 1998 lalu, dengan tujuan mendidik anak mampu menyelamatkan diri ketika jatuh di parit, sungai atau laut. Maklum Belanda dikelilingi air. Dimanapun kita berada di Belanda ini selalu saja ada air atau kali.
Ranomi Kromowidjojo
Bagi kami Alifa tidak perlu menjadi perenang dunia atau nasional seperti Ranomi Kromowidjojo. Dia cukup menjadi perenang yang bisa menyelamatkan diri ketika ada bahaya air. Apalagi menyadari Belanda berada di bawah permukaan air laut dan sungai, yang secara logika bisa setiap saat terrendam air. Selain karena alasan keamanan, diploma renang bisa memberi jaminan anak semakin menyukai cabang renang. Olah raga yang sangat baik untuk pertumbuhan. Kalau sudah memiliki diploma renang, maka anak bisa leluasa bermain di kolam renang Aqua Mundo di Centre Parcs yang tersebar di seluruh Belanda. Sebab kalau membawa anak ke kolam renang atau ke Aqua Mundo biasanya pengawas akan menanyakan apakah si anak sudah punya diploma.
Tanpa Pelampung
Kalau sudah punya diploma A-B-C maka dia bisa leluasa bermain tanpa dibalut oleh pelambung yang biasanya mengganggu kebebasan anak. Belum lagi kita sebagai orang tua harus terus menjaga anak jangan sampai tenggelam. Alasan lain memiliki ijazah renang di Belanda juga untuk memberikan kesempatan kalau-kalau anak nanti ingin ikut olah raha selancar air atau mendayung, maka dia tidak perlu harus kursus dulu.
Satu lagi manfaat si bungsu sekarang sudah punya ijazah renang C, kami tidak perlu kawatir kalau nanti liburan ke Indonesia di musim hujan. Kalau tiba-tiba kami dikepung banjir, minimal dia bisa menyelamatkan diri. Informasi berenang bisa dibaca: PortalRenang
Perempuan Indonesia di Belanda sering kumpul untuk mengobati rasa rindu. Beruntung mereka tinggal di negeri yang banyak rekan sesama dari Indonesia. Salah satu acara yang paling seru adalah arisan dan praktek bikin makanan kampung. Sore ini Eka Tanjung disuguhi Kueku, asli kampung.
Rasanya enak sekali, mengingatkan saat-saat di kampung dulu.Kenyal-kenyal dan dalamnya isi kacang ijo bubuk dicampur gula dan sedikit garam, sehingga rasanya manis legit. Makanan yang sebenarnya secara gizi atau vitamin tidak istimewa, tapi secara memori bathin memberi siraman kebahagiaan. Saat mulut mengunyah makanan lembut itu, lidah bergoyang seperti tidak mau berhenti. Penulis menambah waktu kunyah 20 kali lebih banyak daripada makan kentang atau makanan lain.
Sementara lidah termanjakan, pikiran sesaat berkelana ke kampung halaman. Ku coba pertahankan makanan sebisanya di mulut selama mungkin. Rasanya mak nyusss tenan. Tidak ingin menelannya.
Sore itu ku ulangi sampai tiga kali ritual itu, karena memang kebetulan kuenya baru keluar dari kukusan. Hangat .. seperti suhu tubuh..
Kue itu hasil praktik orang rumah dari hasil berguru beberapa hari lalu dalam acara temu kangen dengan sesama wanita Indonesia.
Ratu Rumah Tangga
Istri memilih berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan bertugas full untuk anak-anak kami. Dia lebih banyak di rumah. Menjadi Ratu Rumah Tangga, yang mengatur urusan rumah tangga yang tidak kalah pelik dibanding pekerjaan kantoran. Waktu yang masih bersisa dimanfaatkan untuk bersosialisasi dengan sesama wanita Indonesia yang berdomisili di Almere.
Spesialitas
Lewat media Whatsapp dan Facebook mereka sering berkoordinasi untuk janjian kumpul mempraktikan membuat kue-kue kampung. Mereka bergiliran memperagakan cara memasak makanan spesialisasi masing-masing. Jika satu wanita menguasai dua masakan, maka ketika 10 orang berkumpul seminggu sekali sudah bisa bertemu kangen selama setengah tahun. Di akhir perjalanan setiapnya memiliki keahlian 20 jenis panganan dan resep makanan.
Penulis sudah berulang kali dikejutkan makanan kampung seperti Bakwan Malang, Lapis Surabaya, Samosa, Bakso, Siomay Bandung, Martabak Manis, Martabak Mesir, Pastai, Kueku, Lemper dan lain-lain. Rasanya sungguh tidak kalah dari yang kita temui di pinggir-pinggir jalan di Tanah Air.
Masakan yang dibuat di rumahan di Belanda, menggunakan bahan-bahan ‘terbaik’ tanpa menimbang untung rugi, karena tidak untuk dijual. Eka Tanjung merasakan betul beda makana jajanan dengan makanan rumahan dari rasa minyaknya. Makanan yang menggunakan minyak baru berbeda rasa dengan minyak yang sudah lama.
Kue yang konon namanya “Kueku” itu juga rasanya sangat uenak tanan. Tapi kalau penulis boleh memberi nama yang lebih cocok adalah “Kue Seksi” karena warnanya merah menantang. Eka Tanjung tidak setuju dengan kawan di Jawa Timur yang menyebutnya “Moto Kebo.”
Sebab sebagai mantan penggembala Kerbau di dusun Pendem dekat Sex Mountain, Gunung Kemukus penulis tidak tahu kalau panganan berwarna mencolok itu bernama Mata Kerbau. Penulis tahu betul ketika tengkurap di atas punggung kerbau dahulu, biasanya sembari memandangi tanduk dan telinga kerbau yang bergoyang-goyang. Kipasan daun telinga kerbau itu lebih menghiraukan kerumunan serangga daripada beban sekitar 20kg di pundaknya.
Dari posisi saya tengkurap di atas punggung kerbau tidak bisa melihat matanya, karena tertutup bulu matanya yang putih. Sesekali dia mengangkat kepalanya untuk mengenyahkan lalat menghisap darah, sesekali matanya tampak. Tapi mata itu warna pupilnya hitam dan sekitarnya putih biasa. Jadi tidak ada mirip-miripnya dengan Kue yang disuguhkan orang rumah sore ini menemani secangkir teh panas Cap Potji.
Orang yang menamai Moto Kebo, kue merah berisi kacang ijo halus itu tidak mengenal kerbau dengan baik. Tapi oke lah, saya lebih baik cerita tentang aktivitas memasak pada ibu-ibu Indonesia di Belanda.
Eka Tanjung sering menemukan wanita dan pria Indonesia di Belanda ini menjadi mandiri dan pinter masak setelah pindah ke Belanda. Mungkin karena ketularan oleh budaya Belanda yang cenderung mengerjakan tugas rumah tangga sendiri. Memasak sendiri, mencuci baju, setrika, membersihkan lantai, membersihkan WC dan kamar mandi, mengencat dinding memasang pagar, memasang lemari dll.
Tidak Ada Pembantu
Kadang ada pula yang menyuruh orang lain untuk mengerjakan tugas rumah tangga maupun pertukangan. Di Belanda ini kebanyakan mengerjakan sendiri tugas-tugas rumah tangga. Suami istri biasanya berbagi tugas. Bahkan suami istri di Belanda bagi tugas dengan “adil.” Semua tugas dibagi dua bergantian per hari. Seperti dituturkan kawan keturunan Jawa Suriname. Dia dan istrinya yang orang Belanda, sepakat bergantian memasak. “Saya kebagian Senin-Rabu-Jumat, masak makanan Jawa. Hari-hari lain giliran istri saya masak makanan Belanda.” Penulis menjumpai Paul Paimin itu di pelataran sekolah, karena kami sama-sama menjemput anak pulang sekolah. Sesama orang berakar di Indonesia biasanya cepat saling sapa.
Satu topik yang menyatukan semua orang yang berakar di Nusantara adalah doyan makan. Kalau ngomongin makanan bisa berlama-lama sambil air liur ngeces. Kami di rantau selalu rindu makanan kampung.
Banyak cara untuk bisa pergi ke luar negeri seperti ke Eropa, Amerika dan lainnya. Menjadi wisatawan, atau lewat perkawinan dengan orang asing atau dengan mencari beasiswa. Eka Tanjung dari Serbalanda melihat berbagai kasus untuk bisa datang ke Belanda.
Wisata Paling mudah untuk bisa ke luar negeri adalah dengan cara berangkat sebagai wisatawan atau turis. Pergi jalan-jalan ke Kuala Lumpur, Hong Kong, ke Belanda dan Prancis bisa dilakukan sebagai turis. Namun karena beayanya tidak murah maka tidak bisa ditempuh dengan dompet yang pas-pasan. Selain itu visa sebagai wisatawan hanya berlaku sampai beberapa bulan saja. Untuk Uni Eropa, standar visa adalah 2 bulan. Selain itu masih ada variasi lainnya, sampai 90 hari.
Perkenalan Antar Bangsa
Di era digital internet ini memungkinkan perkenalan orang dari belahan lain bumi. Hampir semua tempat di dunia ini bisa saling berhubungan, dengan berbagai cara. Ketersambungan ini memperluas jelajah perkenalan kita dengan bangsa lain. Persahabatan antar manusia yang dahulu terjalin dengan cara bertemu fisik dan telefoon serta sms, sekarang dijalin lewat berbagai teknologi komunikasi: LINE, Whatsapp, BB, Facebook Chat, Skype dll. Untuk bisa berkomunikasi dengan biak, diperlukan penguasaan bahasa yang baik pula. Biasanya bahasa yang lumrah untuk komunikasi adalah Bahasa Inggris.
Sebagai saran tambahan kepada Kawan yang ingin membuka wawasan dan berkenalan dengan orang asing, tentu saja perlu penguasaan bahasa Internasional. Yaitu Bahasa Inggris, sehingga peluang mendapatkan ‘keuntungan’ dari kemampuan bahasa ini akan lebih besar juga. Termasuk jika ingin mendapatkan pasangan.
Pernikahan
Perkenalan bisa berlanjut pada jenjang pernikahan. Perkawinan menuju ke kebersamaan dan pasangan bisa melanjutkan kehidupan bahtera rumah tangganya di luar negeri. Eka Tanjung menemui banyak rekan Indonesia yang datang ke Belanda karena pernikahan. Untuk berkumpul dengan suami atau istri, si WNI akan mendapatkan visa tinggal yang disebut MVV (Machtiging Voorlopig Verblijf.) Izin tinggal sementara ini memungkinan untuk datang dan berdomisili di Belanda. Info Mendapatkan MVV Belanda.
Vlog Ika: Pengalaman ke Belanda karena partner.
Pernikahan Sejenis Menarik untuk menyampaikan di sini bahwa Belanda mengakui pernikahan antar semua jenis. Bukan saja antara pasangan lawan jenis (hetero), tetapi juga pasangan sejenis (homo). Pria dengan Pria dan Wanita dengan Wanita. Hambatan persyaratan terletak bukan di Belanda tetapi di Indonesia. Negeri kita belum mengakui pernihakan sejenis.
Samenleven Undang-undang Belanda, mengakui samen leven atau kumpul kebo berkontrak. Perikatan asmara cara ini di undang-undang Belanda bobotnya sejajar dengan perkawinan. Dan samenleven ini berlaku baik untuk pasangan tradisional pria-wanita, maupun pasangan LGBT, pria-pria serta wanita-wanita.
Beasiswa
Cara lain datang ke Belanda secara murah lewat beasiswa. Kuliah atau penelitian di perguruan tinggi Belanda. Eka Tanjung pernah mewawancara jurubicara dari Nuffic (NESO) lembaga Belanda yang mengurusi kerjasama perguruan tinggi dengan negara di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Dijelaskan bahwa sejatinya sangat banyak beasiswa yang ditawarkan pada praktisi media, pegawai pemerintah daerah, pekerja NGO, rohaniawan, dosen dll. Untuk informasi lebih jauh tentang macam beasiswa ke Belanda: NESO Indonesia. Pemerintah Belanda memasukkan Indonesia ke dalam kelompok negara yang diprioritaskan. Nuffic pun gencar melakukan kampanye beasiswa ini ke Indonesia.
Bukan saja Belanda, tapi Jerman, Prancis, Inggris, Mesir, Arab Saudi, Qatar juga memberi berbagai kemudahan untuk menempuh pendidikan di negara mereka. Ini link ke sebuah situs berbagai jenis beasiswa yang bisa diperoleh, untuk bisa gratis sampai ke Eropa.
Bekerja Di berbagai kota, Eka Tanjung bertemu kawan-kawan Indonesia yang datang ke Belanda karena alasan bekerja, expat. Expat adalah karyawan asing yang datang ke Belanda karena bekerja di perusahaan internasional. Di bidang teknik seperti Philips, Cap Gemini, IBM dll.
Menjadi expartriate ini secara pendapatan sangat menarik. Sebab selain gajinya besar karena standar keahlian, juga undang-udang Belanda mengutip pajak lebih lunak kepada kelompok expat ini.
Training Ada pula tenaga teknisi dari perusahaan Indonesia, yang mengikuti pelatihan jangka panjang di Belanda. Seperti halnya di Galangan Kapal Den Helder saat ini ada beberapa teknisi Indonesia yang sedang mengikuti pelatihan. Selain itu di Pemprov DKI Jakarta, saat ini mengirimkan puluhan orang birokrat muda ke Rotterdam untuk melihat dapur tata kota dan tata air di kota Pelabuhan Rotterdam. Pelatihan per tiga bulan itu diselenggarakan oleh Hogeschool Rotterdam berkala dari 2014 sampai Februari 2016.
Diplomat Di kantor perwakilan diplomatik Indonesia di luar negeri ditempatkan diplomat yang berada di Belanda untuk waktu tertentu. Duta Besar, Kepala Bidang dll berada di negara penugasan untuk jangka beberapa tahun. Mereka juga mendapatkan izin tinggal di negara lain sebagai diplomat.
Aupair Salah satu cara mudah ke Belanda adalah menjadi Aupair. Aupair sejatinya ditujukan sebagai belajar budaya Belanda. Tinggal di rumah orang Belanda dan membantu pekerjaan ringan di rumah keluarga hospita. Biasanya izin tinggalnya satu tahun. Sebagai salah satu contoh biro aupair bisa dibaca di sini.
Pelaut dan Cruise Ada pula pekerja yang datang ke Belanda sebagai pelaut. Dia ikut berlabuh dengan kapal peti kemas yang sedang menurunkan atau mengambil barang. Biasanya mereka berada di kota pelabuhan Rotterdam. Selain pelaut ada pula pekerja di Kapal Pesiar yang datang ke Belanda untuk sesaat. Salah satu kapal yang merapat di Belanda adalah Holland-America Line.
Selain itu tentu saja masih banyak warga Indonesia yang berada di Belanda karena alasan lain. Jika kawan ingin menambahkan, silakan mengirim pesan ke salah satu kontak di bawah ini:
Kematian adalah fakta dan sekaligus misteri pada setiap kehidupan. Bagi para pengembara atau perantau, berita duka dari Tanah Air merupakan satu kepedihan yang kerap menghujam ulu hati.
Mendengar berita yang tidak ingin didengar, membuat hati seperti tidak berdaya karena tidak ada pilihan lain. Reaksinya langsung ingin terbang menuju ke tempat duka. Kalau bisa tanpa harus ke bandara, tapi langsung jadi transformator.
Kami sadar itu mustahil. Jika pulang berarti naik pesawat dengan harga ticket dadakan, biasanya super mahal. Atau memilih diam berarti kesedihan tak berperi. Karena tidak bisa berbagi rasa dengan sanak saudara yang sama-sama kehilangan.
Penulis ikutan menggali kubur untuk yang akan mati.
Muara Doa Seperti kita baru jatuh dari tangga, butuh waktu duduk sejenak sebelum bisa bangkit kembali. Saat itu dibutuhkan kebersamaan dan rengkuhan tangan dan kata-kata hangat dari orang-orang di sekeliling. Memberi dukungan moril dan membagi duka. Antara lain dengan menggelar acara doa bersama tanpa membedakan agama. Karena semua doa bermuara pada satu akhir yang sama, Tuhan Sang Pemilik Hidup.
Terbang Jauh Jarak tempuh dari Belanda ke Indonesia, dari rumah di Belanda ke rumah di Indonesia itu paling cepat sekitar 24 jam perjalanan. Dan untuk kaum muslim, biasanya jasad sudah dimakamkan dalam hitungan kurang dari 24. Jadi kemungkinan kecil, bisa mengejar waktu dan melihat jasad kerabat kita. Belum lagi kita membayangkan kemacetan lalu lintas di kota-kota besar di Indonesia. Waktu perjalanan bisa lebih lama kalau kabar meninggalnya sampai tengah hari, sehingga harus mengambil penerbangan hari berikutnya.
Rasa Salah Tidak punya uang, bukan satu-satunya alasan untuk tidak langsung pulang ke Indonesia menemui kerabat yang dipanggil Illahi. Yang tersisa adalah rasa bersalah karena tidak bisa mengurus dan mendampingi saat orang terkasih di kampung sakit atau jelang momen-momen menghembuskan nafas terakhirnya.
Sering Sudah kerap kali Eka Tanjung menerima kabar duka dari keluarga di Tanah Air, paman, kakek, nenek, ayah kandung yang berpulang satu per satu. Kawan-kawan Indonesia di Belanda juga silih berganti mengalami hal serupa. Mendapat berita tentang saudara, kakak, anak atau orang tua yang berpulang untuk selamanya dan kita tidak sempat jumpa.
Eka Tanjung dari Serbalanda sadar betul ini adalah bagian dari kehidupan setiap insan manusia. Berita duka yang pertama kali penulis terima dari Indonesia, ketika baru beberapa tahun tinggal di Belanda. Mendapat kabar telepon dari Indonesia bahwa Mbah Kakung Sastrodiwirjo tutup usia setelah beberapa bulan dioperasi batu ginjal awal 1990an.
Sex Mountain Kakek Sastrodiwirjo ini memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan penulis. Sejauh bisa memori bisa diputar kembali, semasa kecil selalu tinggal dan diasuh dengan punuh siraman cinta kasih oleh mbah kakung di Sumberlawang Sragen dekat Sex Mountain, Gunung Kemukus.
Ketika mendengar kabar meninggal, penulis tidak berdaya karena sedang dalam pekan ujian di kampus. Sontak saja saat itu menjadi pekan kesedihan. Karena tidak bisa berbuat apa-apa. Pepatah yang dulu hanya penulis dengar dari lagu ” makan tak enak dan tidur tidak nyenyak” menjadi realita sesungguhkan dan terasa tidak enak banget.
Belajar pun tidak lancar karena terus kepikiran, karena selama beliau dua bulan terbaring sakit jelang wafatnya, penulis tidak mendapat kabar dari Indonesia. Ketika itu masih paroh kedua tahun 1980an, belum ada Whatsapp atau SMS. Telepon pun masih sulit, seingat kami saluran telepon ke kawasan sekitar Gunung Kemukus dan Kedung Ombo baru dipasang tahun 1990.
Belakangan penjelasannya dari pihak keluarga sekeliling kekek kesayangan itu, tidak ingin mengganggu konsentrasi belajar dan mereka masih punya harapan mbah Kakung akan membaik lagi. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain dan memanggil mbah kesayanganku pulang selamanya. Padahal beliau selama hayatnya, berpola hidup sehat dan tidak pernah kenal jarum suntik dokter.
Kemerdekaan Indonesia Dengan kepedihan itu akhirnya penulis merampungkan ujian karena itu pesan almarhum ketika masih hidup dulu, di warung Bu Sri. Beliau berpesan agar tetap tegar dimanapun berada dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bla..bla..bla.. itu selalu pesan yang disampaikan pensiunan mantri polisi Gemolong, sebagai mantan pejuang yang mengalami zaman kemerdekaan dulu.
Reuni Selang tiga bulan setelah kepergian beliau, penulis bisa pulang ke Sumberlawang dan berdoa di makam mbah Kakung. Rasanya seperti bertemu lagi dalam keheningan, membayangkan beliau berbaring di bawah tanah. Saat itu salah satu sisi positif dari kepergian Mbah Sastrodiwirjo pun muncul. Sepertinya penulis merasa dekat dengan sang Pencipta. Mendadak saja penulis jadi relijius dan sering berdialog dengan Tuhan. Seperti diungkapkan Aslam, putra sulung kami yang berusia 13 tahun, kemarin.
“Kalau saya membandingkan kawan-kawan Belanda yang sudah tidak ke Gereja atau ke Mesjid, kita yang punya agama bisa lebih baik menerima kematian. Walau sedih tapi itu kan takdir, pap. Tuhan punya maksud bagi yang hidup dan yang mati.”
dengan mulut melongo tanda heran, penulis kaget mendengar ucapan ‘anak kemarin sore.’
Cara Pandang Bagi insan di perantauan, duka kesedihan tidak bisa dishare dengan kerabat dan saudara sedarah. Tapi disanalah perlunya dan manfaatnya berkawan. Bersosialisasi dengan rekan yang senasib dan sepenanggungan, sama-sama berasal dari Indonesia. Cara pandang tentang kematian masih satu arti. Di Belanda, penulis juga mencoba mendalami tentang kematian dan kepengurusan jenazah. Sesekali penulis membantu komunitas mesjid di Almere mengurusi jenasah atau memakamnya. Pengalaman kami tuangkan di: Aku Menggali Kuburku Sendiri di Belanda.
Bangsa dari budaya lain bisa berempati, namun reaksinya tidak selalu seperti yang kita kenal dan menenangkan. Setiap budaya punya tanggapan masing-masing tentang kematian.
Hampir tiga dasa warsa hidup di perantauan, membuat Eka Tanjung memiliki kebiasaan khusus ketika pulang kampung ke Sumberlawang ke sebuah rumah dekat rel kereta api tempat menggembala Kerbau. Penulis biasa menyempatkan waktu setengah jam bicara empat mata, khusus dengan orang tua adik-adik secara terpisah. Inti pembicaraan jelang “pulang” ke Belanda adalah:
Meminta maaf kalau ada kesalahan dan dosa, dan jika kita tidak dipertemukan lagi karena kematian, maka ampunilah dosa dan kami saling mengikhlaskannya. Dengan perpisahan cara itu meringankan beban mental kita untuk pergi dan melangkah lagi. Sebab akhir hidup di dunia ini tetap menjadi misteri bagi insan pengembara.
Dan kalau dipertemukan lagi: Nah itu adalah kado yang harus kita nikmati braw!
Retno Marsudi membawa misi dalam tiap tugasnya. Sebagai Dubes di Norway misi diplomasi Batik, di Belanda giliran Kuliner dan sekarang ini sebagai Menlu tampaknya membawa senjata “Diversitas.” Eka Tanjung mengingat sekelumit langkah Srikandi Indonesia lewat rekaman video acara perpisahan dengan warga Indonesia.
Malam Dingin
Jari-jemari mulai tergelitik menulis sejak nonton Youtube. Ceritanya bermula kemarin dini hari. Selesai membuat tulisan tentang sepak bola Belanda, di malam yang sunyi dan udara di ruang kamar yang mulai ngedrop ke 2 derajat Celsius, aku berencana naik ke kamar di lantai satu untuk tidur. Saya kemasi alat tulis, kertas, bungkus kacang yang terbuka kosong dan berserakan di atas meja. Membawa muk kopi yang nyaris kosong tinggal ampasnya dan gelas bekas minum Air Jeruk yang menyisakan kuning di dasarnya. Ketika itu aku dengar suara.
Video
“bliiing.. bliiing” beberapa kali dari laptop di pojok meja. Pertanda ada pesan atau posting masuk di salah satu media sosial Twitter, Facebook atau email. Ku pijit tombol ‘enter’ untuk membangunkan laptop dari posisi standby nya. Setelah layar menyala terlihat ada beberapa posting dari seorang kawan bernama Wahyu Koen. Perhatianku terhisap ke beberapa video cuplikan dari acara perpisahan Retno Marsudi.
Mencicipi Suasana
Tampaknya Oom Koen ingin share pengalaman dari acara di Rijswijk dekat Den Haag itu kepada kawan-kawan di media Facebook. Kawan yang hanya ku kenal lewat media sosial dan nota bene kami tidak terkait pertemanan, bisa membawa saya mencicipi suasana malam perpisahan. Dengan rekaman video Youtube ini saya jadi bisa melihat kawan-kawan yang hadir dan menyelami perasaan mereka. Untuk itu saya disini ingin berterima kasih pada Oom Wahyu Koen.
Den Haag
Dari 10 video yang diunggah Wahyu ke Youtube, aku tonton hampir semuanya. Terutama sambutan dari Retno Marsudi dan doa bersama. Saya tonton sampai dua kali. Di rekaman berdurasi 10 menitan itu mantan dubes Belanda dan Norway menuturkan tentang sejarahnya dia bertugas di Den Haag periode pertama sebagai diplomat dan kedua sebagai duta besar.
Menlu Retno yang berbekal contekan kertas kecil, mengisahkan proses cepat penunjukkannya menjadi Menteri Luar Negeri. Dan menyampaikan rasa bangga, sebagai wanita pertama Indonesia yang menjabat menteri luar negeri. Dia menyadari beratnya tugas sebagai Menlu.
Lalu ungkapan syukur atas perampungan tugasnya di Belanda. Dan dia terkesan merasa misinya berhasil mempererat hubungan Belanda-Indonesia. Dia menyebutkan puncak hubungan baik dan kepercayaan Indonesia Belanda dengan terbentuknya Kemitraan Komprihensif. Silakan saksikan pesannya di video ini:
Diplomasi Kuliner
Dengan hubungan yang begitu pelik antara Indonesia dan Belanda, dubes ini mampu mencapai kesepakatan kemitraan kedua negara dan mengundang PM Mark Rutte datang ke Jakarta. Padahal usai menyerahkan surat-surat kepercayaannya kepada Ratu Belanda, dia menyebutkan misinya adalah Diplomasi Kuliner.
“Whaaat…” pikir banyak orang ketika mendengar Diplomasi Kuliner. Tapi ternyata kita bisa menyimpulkan beberapa tahun kemudian. Itu adalah bahasa diplomasi Jawa.
Saya jadi ingat cerita Eyang Kakung Sastrodiwirjo yang mantri Polisi di Gemolong dan Sumberlawang di era tahun 1960an. Beliau sering menangani kasus kejahatan begal atau pencurian sapi. Menurut eyang putri, Kakung kalau datang ke rumah orang yang dimintai keterangan dan kesaksian, jawabannya sama.
Kalau si tuan rumah bertanya: Ada apa datang ke mari pak matri?
Kakung: Ora ono opo-opo, saya cuman ingin mampir minta minum saja. (Mampir ngombe)
Nah ini yang saya perhatikan ada di Menlu Retno juga. Ternyata sambil berkuliner ‘diselingi’ obrolan serius. Mantan siswa SMA 3 Semarang itu di depan seratusan tamu undangan, menyatakan rasa terhormat dengan penugasan selama di Belanda, negara bermasyarakat Indonesia yang besar. Ia menikmati di Belanda dan merasa diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Menurut Eka Tanjung, sejauh itu kata sambutannya standar dari seorang diplomat yang ulung. Itu memang pekerjaannya sehari-hari. Tekankan yang positif dan hindari ungkapan pedas.
Saya melihat inti penyampaian Menteri Luar Negeri Indonesia yang lebih penting. “Saya mendapat tugas yang tidak mudah sebagai menlu.” Mmmm.. Ya memang semua tugas tidak ada yang mudah, kalau dikerjakan secara serius. Atau ungkapan itu menyimpan arti yang lebih dalam?
Arah Indonesia
Sebagai Menlu, malam kemarin Retno Marsudi bermain keren. Dia pakai kesempatan bicara di Belanda untuk menyampaikan pesan yang jelas tentang satu sisi penting arah Indonesia beberapa tahun ke depan. Sebagai wartawan, Eka Tanjung biasa menilai sikap seseorang ketika menanggapi suatu kejadian besar.
Retno Marsudi menyampaikan keprihatinan akan pembunuhan belasan pekerja tabloid satir, Charlie Hebdo di Paris.
“Kita prihatin dengan kejadian di Paris, yang mengatasnamakan apapun. Itu sebenarnya tidak boleh terjadi.” Itu ungkapan standar yang juga akan disampaikan pada pidato di depan publik Belanda atau internasional.
Eka Tanjung melihat imbauan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia di Belanda dan di Indonesia disini:
“Indonesia adalah negara yang sangat majemuk…. Saya ingin bangsa Indonesia yang berbeda-beda, menebarkan cinta kasih kepada dunia. .. Sehingga dengan perbedaan, kita bisa hidup damai di dunia ini.”
Pesan yang terkandung ini sebenarnya mengena langsung kepada bangsa Indonesia, dimana pun. Termasuk di Belanda. Eka Tanjung melihat saat ini bangsa Indonesia masih terkotak-kotak menjadi kubu-kubu pasca pemilu presiden. Polemik pilpres ini masih terasa dan memperkuat ketidakakuran yang sudah ada dalam masyarakat muslim Indonesia di Belanda.
“Dengan perbedaan kita bisa hidup damai. make the world safer for diversity. Jadikan dunia ini tempat yang lebih aman dengan kemajemukan.”
“make the world safer for diversity”
Pamitan
Retno dengan sopannya, berpamitan pada masyarakat Indonesia yang hadir maupun yang tidak bisa hadir di Rijswijk. “Saya pulang dengan rasa senang. Saya tahu, meninggalkan cinta kasih. Silaturahmi yang tidak terputus. Sebagai anak bangsa, kita teruskan persaudaraan. Indonesia majemuk. Majemuk ini harus dikedepankan kepada dunia. Minta maaf kalau ada kesalahan. Terima Kasih, Terima Kasih dan Terima Kasih.”
Eka Tanjung ikut terharu dan memang mengakui karir melejit yang dijalani Srikandi asal Semarang kelahiran 27 November 1962 itu. Orangnya sederhana, pendapatnya tajam dan ingatannya kuat. Mulai sekarang ia bersenjatakan panah bertuliskan: “make the world safer for diversity” Siap mengarungi dunia. Semoga ia sukses dengan misinya. DAN rakyat Indonesia juga bisa memaknai arti diversitas itu. Jangan sampai Indonesia sukses meyakinkan dunia menjadi “safer for diversity” tapi di dalam negeri masih saja gantok-gontokan karena perbedaan.
Seumpama sosok Retno adalah Gajah, maka tulisan ini hanya pendapat dari satu sisi ganjah itu. Saya tidak melihat dari ekornya dan tidak dari atas, tapi dari samping dengan rasa hormat dan kagum. Perempuan kecil tapi bernyali Gajah!
Selamat sore kawan-kawan sekalian. Inilah blog Serbalanda pertama menggunakan WordPress. Kami sebenarnya sudah bertahun-tahun pengguna setia Blogspot. Karya ini bisa disimak di Serbalanda.com.
Belakangan kami menemukan banyak masukan dari berbakai teman, bahwa WordPress memiliki lebih banyak kemungkinan untuk dikembangkan menjadi blog yang bagus. Lebih bagus daripada Blogspot.
Sekarang ini saya coba-coba saja. Untuk menjajalnya saya pasang kutipan di bawah ini:
“Work Hard Beats Talent, When The Talent Fails to Work Hard.” Kevin Durant.
Setelah melihat dan memperhatikan, saya Eka Tanjung akhirnya memberanikan diri menggunakan platform WordPress (WP) sebagai tempat menulis blog.
Setiap perubahan membawa emosi di dalamnya. Apalagi kalau perubahan itu berarti kehilangan salah satu pegangan. Di sini Eka Tanjung ingin berbicara mengenai blog. Kegiatan tulis menulis di media internet.
Sejatinya saya selama ini lebih biasa dengan Blogspot. Maklum lah sejak 2006 terbiasa memelihara dua weblog:
Sepakbolanda: Tulisan tentang pemain sepak bola #keturunan Indonesia dan segalanya tentang pertautan sepak bola Belanda dan Indonesia.
Serbalanda: Tulisan tentang kehidupan di Belanda yang menarik dibagi untuk orang Indonesia, di manapun berada.