Judul yang barang kali akan menggugah keingintahuan maksud tulisan ini. Sejatinya bukan bermaksud merendahkan Presiden Republik Indonesia yang 21 April 2016 ini melakukan kunjungan kenegaraan ke Belanda.
Banyak aspek yang sebenarnya membuat Eka Tanjung dari Serbalanda mengamati kunjungan RI1 pertama lagi, setelah 16 tahun lalu. Gus Dur lah yang terakhir kali ke negeri Kumpeni ini tahun 2000.
Sayang sekali karakter Blusukan khas Jokowi tidak bisa berlaku dalam kunjungan kenegaraan ke beberapa negara Eropa ini. Pria semampai asal Solo yang punya bibir mirip Jendral Sudirman pejuang kemerdekaan RI itu kali ini tidak bisa blusukan sehingga kemungkinan hanya dapat make-up cukup besar.
Dia tidak bisa jalan-jalan santai ke Giethoorn umpamanya. Atau Ibu Iriana yang berparas Manis itu, tertarik untuk melihat indahnya taman bunga Tulip, de Keukenhof. Bisa jadi nanti dia akan dihinggapi lebah Tulip, karena saking manisnya. Momentum dan tempat yang mungkin akan membuat penyesalan, kalau Jokowi tidak bisa berfoto bersama di dusun nelayan Volendam, seperti yang dilakukan Gus Dur dan keluarganya beberapa tahun silam.
Hans Duin, seorang retailer di Volendam sudah berulangkali menanyakan apakah Jokowi akan datang ke kampungnya Volendam. Sebab katanya “SBY sebenarnya berrencana ke Volendam. Sayang sekali dia membatalkan datang ke Belanda. (2010 red.)” Kemudian Hendriks Smit dari Giethoorn juga sangat penasaran ingin berjabatantangan dengan Presiden Indonesia ke Tujuh ini.
Tidak Blusukan
Fakta bahwa mantan Walikota Surakarta tidak bisa masuk dan datang ke tempat yang dia inginkan, membuktikan bahwa di luar negeri berlaku aturan yang berbeda. Suka atau tidak, kunjungannya ke Belanda ini akan mendapat kawalan lebih ketat. Jam berapa harus berada dimana dan bertemu siapa saja.
Manis dan Minus
Hal itu sangat bisa dimengerti karena Belanda memiliki ikatan manis dan minus dengan Indonesia. Manisnya bisa dirasakan dengan banyaknya wanita-wanita cantik dan anggun asal Indonesia yang tercantol pada pria-pria bule yang romantis dan bersahaja.
Namun sisi minusnya masih membekas pada Kalangan Terhalang Pulang. Kalangan terhalang pulang menggarapkan adanya pengakuan atas penderitaan yang mereka rasakan sejak 1965. Atau kalangan Maluku yang merindukan bisa Pulang Kampung ke Pulau Seram atau ke kampung Kuda Mati di Ambon.
Walaupun secara pribadi mungkin Jokowi tidak merasa takut ancaman kelompok manapun, namun pemerintah Belanda dan pihak KBRI di Den Haag merasa bertanggungjawab dan cemas jangan sampai ada hal buruk menimpa Presiden Indonesia selama berkunjung ke Belanda.
Persiapan
Penulis melihat sendiri bagaimana persiapan di KBRI Den Haag menjelang kedatangan RI1 ke kantor perwakilan Indonesia di Belanda. Pintu-pintu diamplas, dinding dicat, karpet di cuci lebih bersih. Sepertinya semua lapisan di KBRI Den Haag dan negara lain ingin memberi yang terbaik kepada pemimpin.
Gaya Lama
Sejatinya mereka lupa. Seharusnya bebersih harus dilakukan tiap hari. Tempat dikonclongkan bukan ketika kunjungan orang nomor satu Indonesia saja. Pemikiran ‘gaya lama’ seharusnya dibuang jauh-jauh.
Sebab di zaman sekarang ini rakyatlah yang sejatinya berposisi lebih tinggi dibanding presiden atau anggota dewan. Artinya service terbaik dari pegawai KBRI ataupun pegawai pemerintahan, diutamakan untuk rakyat. Sebab mereka digaji oleh uang rakyat, bukan oleh uang presiden.
Jadi gedung-gedung pelayanan publik, harusnya lebih keren, bersih dan wah daripada gedung yang dipakai oleh para pelayan itu sendiri. Gara-gara Jokowi tidak bisa blusukan pada kunjungannya ke luar negeri ini maka, apa yang dia saksikan dan rasakan belum tentu realitas sesungguhnya.
Oleh-oleh Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah usai lawatan ke Suriname Oktober 2015, memicu kebingungan. Soal pengiriman 500 perawat, diartikan lain di Suriname.
Orang nomor satu Jawa Tengah kepada media di Indonesia menyebutkan bahwa Kementrian Tenaga Kerja Suriname meminta 500 perawat spesialis ginjal. Berita ini tentu saja disambut baik di tanah air. Seperti dilansir Antara News.
Namun demikian Serbalanda membaca media Suriname bahwa di negeri Amerika Latin itu sendiri belum ada kata sepakat antara menteri dan pejabat negara.
Bukan Pemerintah
Patrick Pengel, menteri Kesehatan Suriname kepada media Starnieuws menepis anggapan bahwa pemerintah yang akan mendatangkan 500 perawat dari Jawa.
“Gagasan itu tidak datang dari Kemetrian Kesehatan, Kementrian Luar Negeri maupun mentri-mentri lainnya. Kemungkian inisiatif muncul dari pihak swasta.”
Namun demikian Menteri Pekel tidak menyebutkan pihak swasta yang memprakarsai gagasan ini. Mendengar menteri Kesehatan berkelit, sontak saja Paul Somohardjo, pemimpin partai #keturunan Jawa, Pertjajah Luhur merasa tersinggung dan naik pintam.
Keturunan Jawa
Sebagai keturunan Jawa, Paul tidak terima Gubernur dari Tanah Leluhurnya ditanggapi tidak serius di Suriname. Dengan sangat kecewa Paul Somohardjo kepada media Starnieuws juga menyebutkan bahwa sikap berkelit yang diungkapkan menteri kesehatan Patrick Pengel itu bisa merusak hubungan dengan Indonesia.
Somohardjo berujar :” Gubernur Ganjar Pranowo dari Jawa Tengah berbicara dengan berbagai petinggi pemerintah, di antaranya mengenai persoalan ini (500 perawat red. ) Tapi mengapa sekarang ada statement yang merendahkan Indonesia?”
Eka Tanjung dari Serbalanda menilai bahwa Somohardjo merasa tersinggung dengan sikap Menteri Kesehatan. Petinggi parta Jawa itupun mengambil contoh kasus Cina dan Kuba yang mengirim pekerjanya ke Suriname.
“Ketika Dalian China mengirim pekerjanya ke Suriname untuk mengaspal jalan dan membangung rumah, tidak ada yang berkomentar. Di kala Kuba berkontribusi mengirimkan tenaga kesehatan, tidak ada yang mengeluhkan. Namun ketika, gubernur dari Jawa bertemu dengan wakil presiden, menteri Luar Negeri, menteri Tenaga Kerja, para dokter, menawarkan 500 perawat dari Indonesia ke Suriname, dipandang negatif? Ini namanya tebang pilih,” kata Somohardjo.
Masalah Dana
Eka Tanjung mencoba memaknai polemik di Suriname ini. Persoalan inti adalah uang dan Suriname bukanlah negara yang kaya. Menteri Kesehatan Pekel yang membawahi masalah kesehatan di Suriname menyebutkan bahwa prakarsa datang dari swasta. Berarti pemerintah tidak akan mendanai proyek ini. Bahkan mungkin sebaliknya, pemerintah akan melakukan seleksi ketat.
Seperti Pekel menyebutkan: “Jumlah penyakit kronis semakin meningkat. Pemerintah tidak bisa menangani semua. Sebagai akibatnya banyak klinik dan rumah sakit swasta tumbuh menjamur. Untuk itu pemerintah akan melakukan seleksi ketat.”
Dengan kata lain maka pemerintah tidak mampu menggaji 500 perawat dari Indonesia yang kemungkinan akan datang, swasta lah yang dipersilakan. Namun demikian bukan tanpa syarat. Sebab sang menteri menambahkan poin penting di Starnieuws.
“De procedure voor het aantrekken van krachten uit het buitenland is dat zij zich moeten aanmelden bij het ministerie Volksgezondheid en de inspectie. De mensen die nu vermoedelijk onderweg zijn naar Suriname, zullen een screening moeten ondergaan. Zij kunnen alleen tewerkgesteld worden in een instelling nadat Volksgezondheid hier goedkeuring aan heeft gegeven. De minister geeft aan dat streng gelet zal worden op de procedures.”
“Prosedur mendatangkan pekerja asing harus melaporkan kepada kementrian Kesehatan dan inspeksi, Orang-orang yang sekarang kemungkinan dalam perjalanan ke Suriname, harus melewati screening. Mereka hanya bisa mendapatkan izin kerja di instansi yang sudah direkomendasikan oleh Kemenkes di sini. Sang menteri menyatakan akan memantau prosedure secara tegas.”
Di sini pemerintah Suriname tampaknya ingin menunjukkan kesan bahwa bila swasta ingin mendatangkan 500 perawat spesialis ginjal, harus melalui prosedur dan aturan ketat. Serbalanda tidak melihat isi prosedur dan aturan ketat itu.
Menarik untuk menyimpulkan kabar pengiriman 500 perawat dari Jateng ke Suriname ini, tidak semudah yang masyarakat bayangkan. Harus ada tindaklanjut realisasinya.
Gubernur Ganjar sudah menjalankan tugasnya membuka jalan dan mempromokan daerahnya. Sekarang kalau muncul persoalan-persoalan simpang siur ini adalah tugas perwakilan Indonesia di Paramaribo untuk mengklarifikasikannya.
Serbalanda menilai bahwa perekonomian Suriname tidak lebih baik dari Indonesia. Selanjutnya kalau memang di Indonesia banyak perawat spesialis ginjal, mengapa tidak dipekerjakan di rumah sakit dalam negeri saja, kan Indonesia juga banyak pasien yang membutuhkan bantuan dari tenaga medis ini?
Melihat kondisi banjir yang sudah mulai sering melanda Tanah Air, kami makin semangat mengirimkan si bungsu untuk belajar renang. Fungsinya jadi ganda, untuk di Belanda dan Indonesia. Sebab salah satu olah raga yang pertama-tama diperkenalkan kepada anak-anak di Belanda adalah berenang. Ketika anak berusia lima tahun, sudah mulai les renang. Negeri yang terletak bawah permukaan air laut ini mengenal tahapan Diploma A, B dan C.
Sabtu 7 Februari 2015 lalu penulis mengantar Alifa Mansini, si bungsu menempuh ujian berenang. Undangan kami terima pekan lalu sebelumnya dari gurunya. Setelah Alifa mengikuti ujian percobaan atau di Belanda disebutnya “proef examen,” maka Sabtu berikutnya kami sekeluarga diperbolehkan untuk menyaksikan ujian “afzwemmen,” atau merampungkan renang.
Pekan lalu itu, ketika dikatakan ujian percobaan, sebenarnya Alifa sedang menjalani ujian yang sesungguhnya. Sekolah berenang di seluruh Belanda sengaja tidak menyebutkan haru ujian sebagai hari yang sangat menegangkan. Dikatakan kepada anak-anak bahwa pekan depan dia bisa mengikuti proef examen “ujian percobaan.” Padahal tanpa disadari, mereka sudah menjalankan ujian renang Diploma C.
Kalau dia dinyatakan lulus ujian itu maka anak mendapat lembaran khusus berisikan undang untuk afzwemmen. Pekan berikutnya dia bisa datang “ujian” dengan mengundang para sanak saudara untuk menyaksikan di sepanjang kolam renang. Anak-anak dengan bahagianya melakukan semua arahan gurunya. Mempertontonkan kemahirannya kepada kakak, kakek, nenek dan orang tua.
Diploma C
Jika anak mengantongi ijazah renang C maka dia sudah dikatakan renang tahap lanjut, dengan menguasai berbagai aspek.
Berpakaian Lengkap
Loncat ke air dengan cara koprol, disusul dengan watertrappen 15 detik, kemudian 30 detik mengapung dalam posisi badan tegap dengan memegang alat bantu. (lihat video 1)
Loncat ke air dengan cara meloncat, dilanjutkan dengan renang gaya Dada sepanjang 50 meter. 1 kali menyelam di bawah papan dan 1 kali memanjat dan melewati papan.
Berenang 50 meter gaya Punggung. Ujian berpakaian diakhiri dengan keluar secara mandiri dari air ke darat.
Video 1. Berpakaian Renang
Loncat ke air dengan menyelam sepanjang 9 meter dan bertahan di bawah.
Berenang gaya Dada 100 meter, diselingi dengan 1 kali koprol ke depan dan 1 kali kaki vertikal ke udara, kepala ke dasar. Ditutup dengan gaya Punggung 100 meter.
Loncat ke air dengan menukik, langsung disusul dengan mengambang 5 detik, gaya dada beberapa meter kemudian 10 detik mengambang dengan dada.
Loncat ke air dari dinding kolam, disusul 5 detik mengambang di punggung, dilanjutkan dengan renang gaya punggung dan 20 detik mengambang di atas punggung. Diakhiri dengan renang gaya punggung hanya menggunakan tangan.
Meluncur dari dinding kolam, disusul Gaya Bebas 15 meter.
Meluncur dari dinding kolam, disusul Gaya Punggung 15 meter.
Loncat ke air dengan squat jump, disusul 30 detik water treading atau berjalan di air, dibantu lengan dan kaki menuju ke berbagai arah. Bertahan mengambang 30 detik vertikal dengan bantuan gerakan tangan.
Video lengkap tentang persyaratan ujian renang bisa disaksikan: Video Renang Diploma C
Takut Air
Untuk umurnya yang belum genap 7 tahun, Alifa Mansini sejatinya termasuk cepat dalam meraih diploma C. Sebab Sarah kawan sekelasnya yang sudah setahun lebih tua, masih menempuh Diploma A. Menurut ibunya, Sarah memiliki trauma terhadap air. Aspek takut air itu yang akan diperhatikan dan diperbaiki oleh sekolah renangnya. Guru-gurunya sudah terdidik untuk memberikan pelatihan berdasarkan standarisasi nasional, di bawah pengawasan dari Asosiasi Renang Nasional Belanda, KNZB.
Sistem pengelompokan Diploma A-B-C itu diterapkan sejak tahun 1998 lalu, dengan tujuan mendidik anak mampu menyelamatkan diri ketika jatuh di parit, sungai atau laut. Maklum Belanda dikelilingi air. Dimanapun kita berada di Belanda ini selalu saja ada air atau kali.
Ranomi Kromowidjojo
Bagi kami Alifa tidak perlu menjadi perenang dunia atau nasional seperti Ranomi Kromowidjojo. Dia cukup menjadi perenang yang bisa menyelamatkan diri ketika ada bahaya air. Apalagi menyadari Belanda berada di bawah permukaan air laut dan sungai, yang secara logika bisa setiap saat terrendam air. Selain karena alasan keamanan, diploma renang bisa memberi jaminan anak semakin menyukai cabang renang. Olah raga yang sangat baik untuk pertumbuhan. Kalau sudah memiliki diploma renang, maka anak bisa leluasa bermain di kolam renang Aqua Mundo di Centre Parcs yang tersebar di seluruh Belanda. Sebab kalau membawa anak ke kolam renang atau ke Aqua Mundo biasanya pengawas akan menanyakan apakah si anak sudah punya diploma.
Tanpa Pelampung
Kalau sudah punya diploma A-B-C maka dia bisa leluasa bermain tanpa dibalut oleh pelambung yang biasanya mengganggu kebebasan anak. Belum lagi kita sebagai orang tua harus terus menjaga anak jangan sampai tenggelam. Alasan lain memiliki ijazah renang di Belanda juga untuk memberikan kesempatan kalau-kalau anak nanti ingin ikut olah raha selancar air atau mendayung, maka dia tidak perlu harus kursus dulu.
Satu lagi manfaat si bungsu sekarang sudah punya ijazah renang C, kami tidak perlu kawatir kalau nanti liburan ke Indonesia di musim hujan. Kalau tiba-tiba kami dikepung banjir, minimal dia bisa menyelamatkan diri. Informasi berenang bisa dibaca: PortalRenang
Hampir dua kali se bulan di Negeri Belanda digelar acara bernuansa Indonesia. Pasar Malam, Malam Dansa, Indo Avond, Pekan Indonesia datang silih berganti. Menarik mengamati lokasi acara Tahun Baru Imlek Nuansa Indonesia di kampung Indonesia di Almere Belanda.
Indonesia sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat Belanda. Contohnya saja acara yang diselenggarakan pada 21 Februari 2015 ini di Amere Flevoland Belanda. Acara jumpa kangen antara masyarakat Indonesia, Belanda dan Asia ini mengambil thema Tahun Baru Imlek 2015.
Pulau Indonesia
Eka Tanjung dari Serbalanda melihat keunikan pilihan lokasi acara di Gedung TMG di Sumatraweg 22 Almere Buiten. Nama jalannya saja sudah membawa kita ke Indonesia.Salah satu pulau terbesar di Indonesia itu diabadikan di Almere, sebuah kota yang baru lahir tahun 1980an. Bukan saja Sumatra yang dipakai sebagai nama jalan, tetapi masih ada Balistraat, Ambonstraat, Palembangstraat, Djokjakartaweg,
Genre Indonesia
Ferry Kusuma, musisi Indonesia yang sudah kondang di Belanda ini adalah motor di balik acara yang sejatinya lebih bernuansa Indonesia daripada Imlek atau Tionghoa. Bagaimana tidak, musik yang akan mereka suguhkan ke tiap pasang telinga pada malam itu lebih kental genre Indonesia daripada musik dari Negeri Tirai Bambu.
Soal artis dan musik yang akan tampil pada Sabtu malam 21 Februari ini, bisa dibaca di sini. “Membuka Tahun Kambing Nuansa Indonesia.” Acara ini bakal seru, bukan saja karena menu Prasmanan yang Menggiurkan, tetapi juga musik yang memeriahkan malam itu terdiri dari artis dan musisi yang jadi magnit bagi publik pencinta musik Indonesia di Belanda.
Berita Belanda
Acara ini bukan saja menjadi sorotan di Serbalanda, tetapi juga muncul di media lain “Berita Belanda” Portal terpercaya yang mengkhususkan diri pada berita-berita hangat di Belanda. Bari Muchtar, Pemimpin redaksi Berita Belanda adalah mantan redaktur ulung di Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum.
Cuaca Indonesia
Sepertinya acara temu kangen di Almere, Sabtu 21 Februari itu, akan membawa para tamu merasakan suasana Indonesia. Makanan, Musik, Pengunjung, Bahasa dan nama-nama jalan di seputar lokasi. Mungkin hanya cuaca saja, yang tidak bisa diIndonesiakan oleh panitia Tahun Baru Imlek 2015 di Almere itu.
Di Balik Bibir
Ferry Kusuma mengatakan bahwa, dirinya tidak berdaya kalau harus menyulap suhu di Almere menjadi seperti di Malang atau Semarang. “Wah dik, kalau menyulap suhu Almere jadi Malang kami tidak mampu, tapi kami akan berusaha maksimal menyihir suasana dalam ruangan Tahun Baru Imlek 2015 menjadi hangat,” ungkap musisi ramah seraya menampakkan barisan gigi putih dari balik bibirnya.
Mendengar pemaparan itu, Serbalanda melihat cukup alasan untuk hadir juga ke acara hari Sabtu di Almere itu. Semoga pulang bisa bawa Laptop, Tablet atau TV baru hahaha..
Kematian adalah fakta dan sekaligus misteri pada setiap kehidupan. Bagi para pengembara atau perantau, berita duka dari Tanah Air merupakan satu kepedihan yang kerap menghujam ulu hati.
Mendengar berita yang tidak ingin didengar, membuat hati seperti tidak berdaya karena tidak ada pilihan lain. Reaksinya langsung ingin terbang menuju ke tempat duka. Kalau bisa tanpa harus ke bandara, tapi langsung jadi transformator.
Kami sadar itu mustahil. Jika pulang berarti naik pesawat dengan harga ticket dadakan, biasanya super mahal. Atau memilih diam berarti kesedihan tak berperi. Karena tidak bisa berbagi rasa dengan sanak saudara yang sama-sama kehilangan.
Penulis ikutan menggali kubur untuk yang akan mati.
Muara Doa Seperti kita baru jatuh dari tangga, butuh waktu duduk sejenak sebelum bisa bangkit kembali. Saat itu dibutuhkan kebersamaan dan rengkuhan tangan dan kata-kata hangat dari orang-orang di sekeliling. Memberi dukungan moril dan membagi duka. Antara lain dengan menggelar acara doa bersama tanpa membedakan agama. Karena semua doa bermuara pada satu akhir yang sama, Tuhan Sang Pemilik Hidup.
Terbang Jauh Jarak tempuh dari Belanda ke Indonesia, dari rumah di Belanda ke rumah di Indonesia itu paling cepat sekitar 24 jam perjalanan. Dan untuk kaum muslim, biasanya jasad sudah dimakamkan dalam hitungan kurang dari 24. Jadi kemungkinan kecil, bisa mengejar waktu dan melihat jasad kerabat kita. Belum lagi kita membayangkan kemacetan lalu lintas di kota-kota besar di Indonesia. Waktu perjalanan bisa lebih lama kalau kabar meninggalnya sampai tengah hari, sehingga harus mengambil penerbangan hari berikutnya.
Rasa Salah Tidak punya uang, bukan satu-satunya alasan untuk tidak langsung pulang ke Indonesia menemui kerabat yang dipanggil Illahi. Yang tersisa adalah rasa bersalah karena tidak bisa mengurus dan mendampingi saat orang terkasih di kampung sakit atau jelang momen-momen menghembuskan nafas terakhirnya.
Sering Sudah kerap kali Eka Tanjung menerima kabar duka dari keluarga di Tanah Air, paman, kakek, nenek, ayah kandung yang berpulang satu per satu. Kawan-kawan Indonesia di Belanda juga silih berganti mengalami hal serupa. Mendapat berita tentang saudara, kakak, anak atau orang tua yang berpulang untuk selamanya dan kita tidak sempat jumpa.
Eka Tanjung dari Serbalanda sadar betul ini adalah bagian dari kehidupan setiap insan manusia. Berita duka yang pertama kali penulis terima dari Indonesia, ketika baru beberapa tahun tinggal di Belanda. Mendapat kabar telepon dari Indonesia bahwa Mbah Kakung Sastrodiwirjo tutup usia setelah beberapa bulan dioperasi batu ginjal awal 1990an.
Sex Mountain Kakek Sastrodiwirjo ini memiliki peran yang sangat besar dalam kehidupan penulis. Sejauh bisa memori bisa diputar kembali, semasa kecil selalu tinggal dan diasuh dengan punuh siraman cinta kasih oleh mbah kakung di Sumberlawang Sragen dekat Sex Mountain, Gunung Kemukus.
Ketika mendengar kabar meninggal, penulis tidak berdaya karena sedang dalam pekan ujian di kampus. Sontak saja saat itu menjadi pekan kesedihan. Karena tidak bisa berbuat apa-apa. Pepatah yang dulu hanya penulis dengar dari lagu ” makan tak enak dan tidur tidak nyenyak” menjadi realita sesungguhkan dan terasa tidak enak banget.
Belajar pun tidak lancar karena terus kepikiran, karena selama beliau dua bulan terbaring sakit jelang wafatnya, penulis tidak mendapat kabar dari Indonesia. Ketika itu masih paroh kedua tahun 1980an, belum ada Whatsapp atau SMS. Telepon pun masih sulit, seingat kami saluran telepon ke kawasan sekitar Gunung Kemukus dan Kedung Ombo baru dipasang tahun 1990.
Belakangan penjelasannya dari pihak keluarga sekeliling kekek kesayangan itu, tidak ingin mengganggu konsentrasi belajar dan mereka masih punya harapan mbah Kakung akan membaik lagi. Namun ternyata Tuhan berkehendak lain dan memanggil mbah kesayanganku pulang selamanya. Padahal beliau selama hayatnya, berpola hidup sehat dan tidak pernah kenal jarum suntik dokter.
Kemerdekaan Indonesia Dengan kepedihan itu akhirnya penulis merampungkan ujian karena itu pesan almarhum ketika masih hidup dulu, di warung Bu Sri. Beliau berpesan agar tetap tegar dimanapun berada dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bla..bla..bla.. itu selalu pesan yang disampaikan pensiunan mantri polisi Gemolong, sebagai mantan pejuang yang mengalami zaman kemerdekaan dulu.
Reuni Selang tiga bulan setelah kepergian beliau, penulis bisa pulang ke Sumberlawang dan berdoa di makam mbah Kakung. Rasanya seperti bertemu lagi dalam keheningan, membayangkan beliau berbaring di bawah tanah. Saat itu salah satu sisi positif dari kepergian Mbah Sastrodiwirjo pun muncul. Sepertinya penulis merasa dekat dengan sang Pencipta. Mendadak saja penulis jadi relijius dan sering berdialog dengan Tuhan. Seperti diungkapkan Aslam, putra sulung kami yang berusia 13 tahun, kemarin.
“Kalau saya membandingkan kawan-kawan Belanda yang sudah tidak ke Gereja atau ke Mesjid, kita yang punya agama bisa lebih baik menerima kematian. Walau sedih tapi itu kan takdir, pap. Tuhan punya maksud bagi yang hidup dan yang mati.”
dengan mulut melongo tanda heran, penulis kaget mendengar ucapan ‘anak kemarin sore.’
Cara Pandang Bagi insan di perantauan, duka kesedihan tidak bisa dishare dengan kerabat dan saudara sedarah. Tapi disanalah perlunya dan manfaatnya berkawan. Bersosialisasi dengan rekan yang senasib dan sepenanggungan, sama-sama berasal dari Indonesia. Cara pandang tentang kematian masih satu arti. Di Belanda, penulis juga mencoba mendalami tentang kematian dan kepengurusan jenazah. Sesekali penulis membantu komunitas mesjid di Almere mengurusi jenasah atau memakamnya. Pengalaman kami tuangkan di: Aku Menggali Kuburku Sendiri di Belanda.
Bangsa dari budaya lain bisa berempati, namun reaksinya tidak selalu seperti yang kita kenal dan menenangkan. Setiap budaya punya tanggapan masing-masing tentang kematian.
Hampir tiga dasa warsa hidup di perantauan, membuat Eka Tanjung memiliki kebiasaan khusus ketika pulang kampung ke Sumberlawang ke sebuah rumah dekat rel kereta api tempat menggembala Kerbau. Penulis biasa menyempatkan waktu setengah jam bicara empat mata, khusus dengan orang tua adik-adik secara terpisah. Inti pembicaraan jelang “pulang” ke Belanda adalah:
Meminta maaf kalau ada kesalahan dan dosa, dan jika kita tidak dipertemukan lagi karena kematian, maka ampunilah dosa dan kami saling mengikhlaskannya. Dengan perpisahan cara itu meringankan beban mental kita untuk pergi dan melangkah lagi. Sebab akhir hidup di dunia ini tetap menjadi misteri bagi insan pengembara.
Dan kalau dipertemukan lagi: Nah itu adalah kado yang harus kita nikmati braw!
Di Belanda, migran asal Indonesia dinilai baik dan tidak menimbulkan masalah. Dibanding etnik lain, kepolisian jarang berurusan dengan imigran Indonesia. Orang-orang Belanda demen orang, dansa dan makanan Indonesia.
Polisi Belanda paling senang kalau ditugaskan menjaga keamanan acara-acaranya orang Indonesia. Mereka tahu di tempat itu jarang ada perkelahian, jarang ada keributan. Pelanggaran biasanya hanya sebatas ketertiban anak-anak yang berlari-lari keluar lokasi dan parkir liar saja.
Tidak Agresif
Acara orang Indonesia di Belanda hampir setiap pekan, seperti Pasar Malam, Indisch Avond, Dansavond, dan acara budaya lainnya. Biasanya saji dengan makanan Indonesia, lagu Indonesia dan tarian Poco-poco. Jenis lagu dan makananan ini pun tidak memberi efek agresif yang bisa memancing keributan. Berbeda banget dengan pesta yang memutar musik keras dengan dentuman kencang yang diproduksi oleh pengeras suara dan publiknya yang jingkrak-jingkrak sambil mutar-mutar kepala, pamer rambut panjang. Belum lagi kalau kalangan publik mereka itu mengkonsumsi suplemen yang mempengaruhi emosi.
Polisi Girang
Aparat polisi Belanda biasanya sudah kegirangan kalau mendapat jadwal menertibkan pesta Indonesia. Mereka sudah tahu saja hari itu santai dan tugasnya ringan, dan kalau mujur bisa dapat makan pula. Eka Tanjung beberapa kali mengamati aparat polisi yang bertugas di pesta Indonesia.
Bahkan polisi-polisi itu sepertinya rebutan sengaja merayu komendan supaya dapat tugas menjaga pesta Indonesia. Selain karena makanan, musik dan ketertibannya yang rapi, orang-orang Indonesia cenderung ramah dan patuh otoritas. Bapak-bapak datang melempar senyum kepada polisi. Dengan langkah-langkah kecil didampingi teman dan saudara. Anak-anak kecil yang minta difoto bersama polisi. Pak polisi sudah tahu itu dan menikmati saja.
Imej polisi Belanda lembut, dibanding polisi Amerika dan Indonesia yang lebih garang dan seperti menjaga jarak dengan warga. Penelitian di Belanda dua tahun lalu menunjukkan bahwa separoh warga Belanda menilai bahwa polisi terlalu soft atau lembek dalam menangani kasus. Selain itu warga Belanda menilai kepolisian sulit dihubungi kalau ada pelaporan. Sikap itu sebenarnya cocok untuk karakter bangsa Indonesia yang juga lembut di Belanda.
Kasihan Polisi
Walau demikian Eka Tanjung, agak kasihan kepada polisi ketika menghadapi para ibu-ibu Indonesia pengunjung pesta-pesta Indonesia. Ibu-ibu muncul dengan koleksi baju dan gaun pilihan, yang setahun tergantung di lemari. Dengan persiapan dandan sejak pagi, kaum hawa muncul satu persatu dengan setelan baju dan tas tangan, serta tatanan rambut yang tahan badai berkekuatan Wind Power 10.
Cara Bicara
Bukan soal kerapihan dan kewangian ibu-ibu Indonesia, yang membuat kasihan pada polisi. Tetapi cara mereka berbicara. Kalau ibu-ibu Indonesia ketemu dengan otoritas yang rapi seperti aparat polisi atau pabean biasanya saya melihat ada semacam kegugupan. Bicaranya setengah berteriak dan diucapkan cepat dengan intonasinya yang tidak pas, sehingga orang yang mendengarnya tidak faham arti harfiahnya.
Tapi itupun pak polisi Belanda bisa mengerti dan memahami maksudnya. Satu karena di tangannya lawan bicara ada semangkok atau sekotak nasi, bakmi dengan segala lauknya. Dan ibu-ibu ini menyampaikannya dengan senyum. “Wah berarti dapet makan kita,” simpul polisi.
Kalau Eka Tanjung boleh kasih saran kepada ibu-ibu, mohon kalau berbicara dengan pak polisi, tenang saja. Atau lebih baik tidak perlu mengeluarkan kata-kata. Pasang senyum di bibir merahmu, dan serahkan makanan itu dengan dua tangan. Cukup dengan “Nyoh panganen!” Dijamin 10 menit kemudian pak polisi sudah menghabiskan makanan itu.
Dalam logika politik, satu tambah satu tampaknya tidak selalu jadi dua. Eka Tanjung mengamati polemik pasca hukuman mati enam penjahat narkoba di Nusakambangan. Presiden Jokowi tampaknya bukan dirugikan tapi sebaliknya diuntungkan oleh ‘amarah’ Belanda dan Brasil yang menyesalkan warganya dihukum mati. Analisa ku begini..
Minyak dan Air
Momentum yang tidak sengaja bisa menghembuskan angin segar, ketika rakyat Indonesia yang sedang terbelah pasca pemilu presiden akhirnya mulai melebur dan menghadapkan muka ke arah lawan yang sama. Perkembangan di Indonesia hari-hari ini perlu disyukuri. Pertentangan pendukung Jokowi dan Prabowo yang sudah seperti minyak dan air, seketika mulai melebur seperti malam dengan rembulan. Kohesi opini publik terbangunkan menjadi sebuah irama satu nada.
Common Enemy Mendadak kita punya musuh bersama, common enemy. Sebuah realita politik yang terkesan merugikan, tetapi faktanya malah bisa berbalik menguntungkan kita. Tidak ada yang aneh sebenarnya dengan hukuman mati, karena masih banyak negara besar yang melaksanakannya. Amerika Serikat masih getol menyuntiki terpidana mati. Negara tetangga kita Singapura masih sering menggunakan tali untuk nggantungi para bandit narkoba.
Momentum
Dalam politik, imbas keputusan sangat kental dipengaruhi momentumnya. Eka Tanjung ingat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono I (pertama) yang memulai masa tugasnya pada 20 Oktober 2004. Program 100 harinya tidak dipertanggungjawabkan, karena ‘terselamatkan’ oleh tsunami 26 Desember 2004. Negara sedang berkabung atas meninggalnya 200 ribuan warga, harus fokus dalam menangani masalah bantuan dan pembangunan kembali Aceh. Dia harus mengkoordinir bantuan dan menerima kunjungan dari rekan-rekan dari seluruh penjuru jagad. Masyarakat Indonesia serempak bersimpati pada pemerintah SBY yang sedang prihatin.
Budi Gunawan
Kembali ke realita saat ini. Amarah Bert Koenders, menteri luar negeri Belanda atas eksekusi warga Belanda di Indonesia, tidak otomatis berdampak buruk terhadap simpati masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo. Masalah persatuan yang terusik pasca pilpres, seketika lumer. Polemik calon Kapolri Budi Gunawan, yang begitu membuat gerah akhirnya sedikit reda.
Belum lagi masalah harga bensin yang sudah diturunkan tetapi tidak memberikan imbas yang diharapkan. Sebagian masyarakat yang awalnya membela pengurangan subsidi BBM, malah berbalik kecewa pada Jokowi. Belum lagi setumpukan permasalahan yang menggelantungi tugas presiden dengan seribu persoalan di negari indah kaya belasan ribu pulau itu.
Sejarah
Jika menilik sejarah, pemimpin zaman dulu mencari strategi common enemy. Seperti ketika Hitler di Jerman menciptakan kebencian kepada kelompok tertentu untuk mendapatkan simpati dari rakyatnya. Lalu Eropa Barat yang mencari lawan bersama di Pakta Warsawa di era Perang Dingin. Mereka menggunakan program untuk menemukan lawan bersama. Akhirnya periode Perang Dingin dipandang sebagai periode minim konflik di Eropa Barat.
Orang Baik
Eka Tanjung yakin bahwa Jokowi mendapat anugrah ‘lawan bersama’ karena dia orang baik. Demi rakyat dia berani menanggung resiko. Ketika para pendahulunya tidak berani menaikkan harga BBM secara sungguh-sungguh, dia berani. Ketika vonis mati sudah ketok palu tahun 2003 dan pendahulunya tidak berani memerintahkan eksekusi, dia berani.
Bahu Membahu
Presiden Jokowi adalah orang baik yang mendapat jalan dari Tuhan. Semoga niatnya tetap baik dan Belanda mau berlama-lama menjadi musuh bersama rakyat Indonesia. Betapa asiknya ketika menyaksikan masyarakat Indonesia kompak satu pendapat. Presiden dan para mentrinya berkerjasama bahu membahu untuk kemajuan bangsa. Berkat amarah yang mengarah kepada satu arah. Menggerakan rasa, “kita harus bersatu” untuk memberi pelajaran pada Belanda.
Penduduk Indonesia yang di era pemilu presiden masih skeptik terhadap niat baik Presiden Jokowi, perlahan mulai merapat dan ikut tersengat oleh sentimen terhadap suara lantang dari negeri mantan penjajah. Semakin Belanda marah-marah semakin membantu Jokowi menyatukan hati bangsa Indonesia.
Retno Marsudi membawa misi dalam tiap tugasnya. Sebagai Dubes di Norway misi diplomasi Batik, di Belanda giliran Kuliner dan sekarang ini sebagai Menlu tampaknya membawa senjata “Diversitas.” Eka Tanjung mengingat sekelumit langkah Srikandi Indonesia lewat rekaman video acara perpisahan dengan warga Indonesia.
Malam Dingin
Jari-jemari mulai tergelitik menulis sejak nonton Youtube. Ceritanya bermula kemarin dini hari. Selesai membuat tulisan tentang sepak bola Belanda, di malam yang sunyi dan udara di ruang kamar yang mulai ngedrop ke 2 derajat Celsius, aku berencana naik ke kamar di lantai satu untuk tidur. Saya kemasi alat tulis, kertas, bungkus kacang yang terbuka kosong dan berserakan di atas meja. Membawa muk kopi yang nyaris kosong tinggal ampasnya dan gelas bekas minum Air Jeruk yang menyisakan kuning di dasarnya. Ketika itu aku dengar suara.
Video
“bliiing.. bliiing” beberapa kali dari laptop di pojok meja. Pertanda ada pesan atau posting masuk di salah satu media sosial Twitter, Facebook atau email. Ku pijit tombol ‘enter’ untuk membangunkan laptop dari posisi standby nya. Setelah layar menyala terlihat ada beberapa posting dari seorang kawan bernama Wahyu Koen. Perhatianku terhisap ke beberapa video cuplikan dari acara perpisahan Retno Marsudi.
Mencicipi Suasana
Tampaknya Oom Koen ingin share pengalaman dari acara di Rijswijk dekat Den Haag itu kepada kawan-kawan di media Facebook. Kawan yang hanya ku kenal lewat media sosial dan nota bene kami tidak terkait pertemanan, bisa membawa saya mencicipi suasana malam perpisahan. Dengan rekaman video Youtube ini saya jadi bisa melihat kawan-kawan yang hadir dan menyelami perasaan mereka. Untuk itu saya disini ingin berterima kasih pada Oom Wahyu Koen.
Den Haag
Dari 10 video yang diunggah Wahyu ke Youtube, aku tonton hampir semuanya. Terutama sambutan dari Retno Marsudi dan doa bersama. Saya tonton sampai dua kali. Di rekaman berdurasi 10 menitan itu mantan dubes Belanda dan Norway menuturkan tentang sejarahnya dia bertugas di Den Haag periode pertama sebagai diplomat dan kedua sebagai duta besar.
Menlu Retno yang berbekal contekan kertas kecil, mengisahkan proses cepat penunjukkannya menjadi Menteri Luar Negeri. Dan menyampaikan rasa bangga, sebagai wanita pertama Indonesia yang menjabat menteri luar negeri. Dia menyadari beratnya tugas sebagai Menlu.
Lalu ungkapan syukur atas perampungan tugasnya di Belanda. Dan dia terkesan merasa misinya berhasil mempererat hubungan Belanda-Indonesia. Dia menyebutkan puncak hubungan baik dan kepercayaan Indonesia Belanda dengan terbentuknya Kemitraan Komprihensif. Silakan saksikan pesannya di video ini:
Diplomasi Kuliner
Dengan hubungan yang begitu pelik antara Indonesia dan Belanda, dubes ini mampu mencapai kesepakatan kemitraan kedua negara dan mengundang PM Mark Rutte datang ke Jakarta. Padahal usai menyerahkan surat-surat kepercayaannya kepada Ratu Belanda, dia menyebutkan misinya adalah Diplomasi Kuliner.
“Whaaat…” pikir banyak orang ketika mendengar Diplomasi Kuliner. Tapi ternyata kita bisa menyimpulkan beberapa tahun kemudian. Itu adalah bahasa diplomasi Jawa.
Saya jadi ingat cerita Eyang Kakung Sastrodiwirjo yang mantri Polisi di Gemolong dan Sumberlawang di era tahun 1960an. Beliau sering menangani kasus kejahatan begal atau pencurian sapi. Menurut eyang putri, Kakung kalau datang ke rumah orang yang dimintai keterangan dan kesaksian, jawabannya sama.
Kalau si tuan rumah bertanya: Ada apa datang ke mari pak matri?
Kakung: Ora ono opo-opo, saya cuman ingin mampir minta minum saja. (Mampir ngombe)
Nah ini yang saya perhatikan ada di Menlu Retno juga. Ternyata sambil berkuliner ‘diselingi’ obrolan serius. Mantan siswa SMA 3 Semarang itu di depan seratusan tamu undangan, menyatakan rasa terhormat dengan penugasan selama di Belanda, negara bermasyarakat Indonesia yang besar. Ia menikmati di Belanda dan merasa diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Menurut Eka Tanjung, sejauh itu kata sambutannya standar dari seorang diplomat yang ulung. Itu memang pekerjaannya sehari-hari. Tekankan yang positif dan hindari ungkapan pedas.
Saya melihat inti penyampaian Menteri Luar Negeri Indonesia yang lebih penting. “Saya mendapat tugas yang tidak mudah sebagai menlu.” Mmmm.. Ya memang semua tugas tidak ada yang mudah, kalau dikerjakan secara serius. Atau ungkapan itu menyimpan arti yang lebih dalam?
Arah Indonesia
Sebagai Menlu, malam kemarin Retno Marsudi bermain keren. Dia pakai kesempatan bicara di Belanda untuk menyampaikan pesan yang jelas tentang satu sisi penting arah Indonesia beberapa tahun ke depan. Sebagai wartawan, Eka Tanjung biasa menilai sikap seseorang ketika menanggapi suatu kejadian besar.
Retno Marsudi menyampaikan keprihatinan akan pembunuhan belasan pekerja tabloid satir, Charlie Hebdo di Paris.
“Kita prihatin dengan kejadian di Paris, yang mengatasnamakan apapun. Itu sebenarnya tidak boleh terjadi.” Itu ungkapan standar yang juga akan disampaikan pada pidato di depan publik Belanda atau internasional.
Eka Tanjung melihat imbauan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia di Belanda dan di Indonesia disini:
“Indonesia adalah negara yang sangat majemuk…. Saya ingin bangsa Indonesia yang berbeda-beda, menebarkan cinta kasih kepada dunia. .. Sehingga dengan perbedaan, kita bisa hidup damai di dunia ini.”
Pesan yang terkandung ini sebenarnya mengena langsung kepada bangsa Indonesia, dimana pun. Termasuk di Belanda. Eka Tanjung melihat saat ini bangsa Indonesia masih terkotak-kotak menjadi kubu-kubu pasca pemilu presiden. Polemik pilpres ini masih terasa dan memperkuat ketidakakuran yang sudah ada dalam masyarakat muslim Indonesia di Belanda.
“Dengan perbedaan kita bisa hidup damai. make the world safer for diversity. Jadikan dunia ini tempat yang lebih aman dengan kemajemukan.”
“make the world safer for diversity”
Pamitan
Retno dengan sopannya, berpamitan pada masyarakat Indonesia yang hadir maupun yang tidak bisa hadir di Rijswijk. “Saya pulang dengan rasa senang. Saya tahu, meninggalkan cinta kasih. Silaturahmi yang tidak terputus. Sebagai anak bangsa, kita teruskan persaudaraan. Indonesia majemuk. Majemuk ini harus dikedepankan kepada dunia. Minta maaf kalau ada kesalahan. Terima Kasih, Terima Kasih dan Terima Kasih.”
Eka Tanjung ikut terharu dan memang mengakui karir melejit yang dijalani Srikandi asal Semarang kelahiran 27 November 1962 itu. Orangnya sederhana, pendapatnya tajam dan ingatannya kuat. Mulai sekarang ia bersenjatakan panah bertuliskan: “make the world safer for diversity” Siap mengarungi dunia. Semoga ia sukses dengan misinya. DAN rakyat Indonesia juga bisa memaknai arti diversitas itu. Jangan sampai Indonesia sukses meyakinkan dunia menjadi “safer for diversity” tapi di dalam negeri masih saja gantok-gontokan karena perbedaan.
Seumpama sosok Retno adalah Gajah, maka tulisan ini hanya pendapat dari satu sisi ganjah itu. Saya tidak melihat dari ekornya dan tidak dari atas, tapi dari samping dengan rasa hormat dan kagum. Perempuan kecil tapi bernyali Gajah!
Saya sempat sedih tidak diundang ke acara perpisahan Menlu Retno Marsudi dengan masyarakat Indonesia di Belanda. Namun akhirnya kesedihan terhibur oleh-oleh Oom Wahyu Koen. Ceritanya begini..
Selasa dini hari 13 Januari 2015 saya kesulitan mengartikan perasaan ketika menyaksikan tayangan video Youtube dari acara perpisahan Dubes Retno Marsudi dengan masyarakat Indonesia di Belanda. Saya sejatinya merasa dekat dengan mantan Dubes Belanda itu, tapi juga sekaligus merasa jauh.
Dubes Retno menjamu tim RNW, 19-03-06
Sejarahnya begini.. Pada tahun 2006 saya bertemu Bu Retno pertama kali di Oslo Norwegia ketika bertugas sebagai Dubes di negeri itu. Saya ke Skandinavia dalam rangka liputan Wisnu Witono Adhi, anak Jakarta yang lolos babak akhir Idols Norway.
Kami bertiga dari Radio Nederland merasa diterima dengan baik oleh Retno Marsudi dan para diplomat Indonesia di Norway yang kebetulan sedang menggelar acara pameran Batik.
Dari pertemuan pertama itu Eka Tanjung bisa menangkap kesan, dubes ini terus melakukan promosi Indonesia di setiap kesempatan. Dan kedua dia tegas, kecil-kecil cabe rawit. Dalam wawancara soal konflik Aceh waktu itu, aku dengar sikap tegasnya terhadap Belanda.
“Kalau negara seperti Norway mengkritik soal HAM di Indonesia, kami bisa terima. Tapi kalau kritik itu datangnya dari Belanda, kita tidak bisa terima. Karena kita mengalami penjajahan oleh Belanda.” (Retno Marsudi, 2006)
Selasa 14 Januari 2015 ini di Gedung Jaarbeurs Utrecht berlangsung pameran wisata terbesar di Belanda, de Vakantiebeurs. Negara “tuan rumah” tahun ini adalah Curacao dan Spanyol. Indonesia tidak perlu cemas, sebab setiap minggu selalu ada promo Indonesia di Belanda. Pasar Malam, Pasar Senang, Pasar Indonesia di Kebun Binatang dll. Dan dalam waktu dekat ini pesta Imlek di Almere. Tahun Baru Imlek bernuansa Indonesia.
Cocok dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang menyadari Indonesia punya potensi di pariwisata. Keunikan yang dimiliki ribuan pulau yang dibelah garis Katulistiwa itu diyakini bisa memberi devisa negara lewat kunjungan wisatawan manca negara. Kementrian Pariwisata Indonesia bahkan sudah mencanangkan membuka 10 restoran Indonesia di setiap negara dunia.Read the rest of this entry »