Kuburan
Aku Gali Kuburku Sendiri di Belanda
Orang yang sehat, tidak nyaman kalau memikirkan kematian. Tapi di Belanda ini seperti ada keharusan membayangkan kematian. Aku sempat “menggali” kuburku sendiri.
Suatu Ahad di bulan Februari 2015 ini akan berangkat memenuhi undangan masjid di kampung kami Tussen de Vaarten Almere. Kerjabakti menggali tiga lubang baru kuburan, untuk persiapan kalau pekan-pekan depan ada umat muslim yang meninggal dan ingin dimakamkan di Pemakaman Khusus umat Islam di Kriudenweg 3 Almere itu.
Cepat
Pemakaman muslim yang harus cepat dengan keterbatasan SDM maka, menyiapkan lubang kosong adalah langkah yang baik. Penjelasan pak Naib Mesjid Ar Raza pada sholat Jumat itulah yang mendorong Eka Tanjung untuk memenuhi ajakan gotong royong menggali lubang kubur di hari Minggu pagi. Ketika penulis tiba di lokasi, baru lepas pukul 10 pagi sudah ada sekitar 8 orang yang bersiap dengan peralatan gali seperti sekop dan gerobak dorong.
Galau di Kuburan
Masuk pekarangan kuburan, awalnya penulis gamang juga. Bukan hanya karena bertemu beberapa orang yang tidak dikenal. Tapi juga karena membayangkan sedang memasuki tempat orang-orang berbaring dalam tanah.
Kerjabakti
Menangkal rasa takut dengan mulut komat-kamit membaca surat Al Fatihah dan memberi salam kepada para jenazah yang dikuburkan di sana, penulis mulai ikut kerjabakti. Para sukarelawan yang hadir mulai membuka perbincangan dengan segala macam topik. Dari tentang urusan teknis, bagi tugas, politik sampai dengan pendapat tentang penguburan di Belanda.
Sambil mengangkut pasir dengan gerobak dorong, Eka Tanjung terlibat perbincangan dengan tiga kawan yang berada di satu tim penggali kuburan nomor dua yang berada di tengah. Sementara jarak lima meter dari tempat itu lima orang sibuk menggali dua lobang sejajar. Tiga orang lainnya membuat papan pembatas lubang.
Topik perbincangan soal tempat pemakaman. Ingin dikubur dimana kalau meninggal di Belanda kelak? Bapak tua yang berasal dari Bangladesh mengatakan ingin dimakamkan di kuburan itu saja. Dia memilih tempat pojok di bawah pohon. “Saya sudah pesan tempat di sana,” kata Pak Abdullah sambil menunjuk pohon dekat gerbang masuk.
Tanah Dingin
Sembari bulak balik mendorong gerobak memindahkan pasir ke lokasi depan, saya terhenti sejenak karena menangkap ungkapan Mustapha yang terdengar samar. Pria kurus asal Turki itu mengatakan ingin dikuburkan di negara asalnya Turki, karena katanya:“Saya dan istri sepakat ingin dimakamkan di Turki saja. Di Belanda ini tanahnya dingin, kami gak mau.” Penulis terkaget dan merasa lucu juga mendengar penjelasan Mustapha. Tapi demi menjaga sopan-satun, penulis berusaha keras mengulum tawa agar tidak kelihatan. Walaupun sebenarnya ingin tertawa.
Sakit Badan
Abdullah menimpali lagi dengan argumen yang lain, sambil menatap Mustapha dengan serius.
“Dengerin bro. Kalau orang meninggal sebisanya dimakamkan secepatnya. Dan kalau terlalu lama di perjalanan malah kasihan mayatnya. Tergoyang-goyang di pesawat dan di mobil. Belum lagi, saya dengar perlakuan di cargo bandara antara mayat dengan kotak tidak beda. Ada kalanya terlempar juga. Itu badan akan terasa sakit.”
Sambil mulut terbuka dan mengeluarkan asap, karena ngos-ngosan lelah di cuaca yang dingin, penulis bertanya kepada Mustapha dan Abdullah:“Lha kalau sudah meninggal apa badan kita masih merasakan sakit dan dingin? Dan dimanapun kita dimakamkan, semua itu kan Bumi Allah.” Keduanya terdiam, sejenak. Tanpa ada jawaban.
Kami pun masing-masing melanjutkan lagi kerjabakti menggali lubang untuk persiapan. Diskusi terputus oleh teriakan seorang dari ketahuan, dekat meja kayu yang sudah disiapkan di dekat gerbang. “Ayo kita ngopi dulu.”
Enam Negara
Kerjabakti diselingi istirahat minum kopi dan cai, tehnya orang Pakistan yang banyak memakai daun teh, dibubuhi bunga Anais dan susu kental manis. Penulis merasa makin akrab dengan orang-orang ini. Mereka berasal dari berbagai negara. Eka Tanjung menghitung ada 6 negara asal: Suriname, Pakistan, Afghanistan, Bangladesh, Turki dan Indonesia.
Penulis sempat kaget juga karena penggalian ini tidak menggunakan mesin. Ternyata saat tea break terjawab pertanyaan itu. Ar Raza, organisasi besar dan pemilik penuh (bukan penyewa dari pemerintah red.) makam muslim di Almere ini tidak punya mesin penggali. Dan mereka tidak mau menyewa mesin yang harganya € 125 sehari. Jadi untuk berhemat mereka lebih baik menggunakan otot dan tenaga saja.
Tidak Dibayar
Untung saja, tanah di Belanda, khususnya di Almere ini empuk dan berpasir. Sehingga tidak terlalu berat untuk menggalinya. Singkatnya Eka Tanjung, senang melihat kesungguhan kawan-kawan dalam bekerja bakti. Padahal mereka tidak dibayar, dan bahkan kasus Mustapha, dia tidak ingin dikubur di situ. Berarti dia sebenarnya tidak mendapat keuntungan dari membantu menggali lobang. Semoga amalan baik mereka mendapat balasan dan dicatat sebagai tabungan di Alam Kubur kelak. Dimanapun dia akan dimakamkan.
Rumah Masa Depan
Semoga amal kebaikan mereka bisa menghilangkan rasa dingin dan sakit ketika sudah menjadi mayat dan dikuburkan. Eka Tanjung, yang awalnya merasa agak sedikit gamang di pemakaman itu, akhirnya merasa betah. Merasa berada di rumah masa depan. Kalau penulis boleh memohon pada Allah, ingin juga dikuburkan di sana. Tidak perlu ada bunga atau batu nisan. Cukup papan kayu dan satu pohon Apel.

Kuburan Anak
Ketika melamun itu, perhatian Eka Tanjung sempat tercuri oleh kuburan anak kecil di bagian depan makam itu. Masih segar dan banyak hiasan. Ternyata itu kuburan bayi Indonesia. Disana terpampang tulisan: Malaikat Kecilku… Papa dan Mama.
Dalam tempo empat jam, kami sudah merampungkan tiga lubang cadangan. Untuk saudara dan saudari yang lebih dahulu dipanggil. Mereka menemukan rumahnya, dan menggambil kuburan yang kugali. Tapi aku ikhlas, silakan. Semoga kuburmu tenang dan terang!
Informasi mengenai Pemakaman Muslim di Almere, bisa klik: Mesjid Ar Raza Almere