Anak di Belanda, Dimanja Buku
Belanda sangat mengutamakan budaya membaca. Perpustakaan menstimulir anak-anak kecil rajin ke perpustakaan. Interior perpustakaan Belanda dirancang agar anak-anak suka dan betah.

Sabtu kemarin, seperti sudah menjadi ritual kami, dua minggu sekali mengantar anak-anak ke perpustakaan, dalam bahasa Belanda disebut Bibliotheek. Hari itu saatnya si bungsu memilih sendiri 10 buku kesukaan yang akan dia pinjam dan baca nanti di rumah jelang tidur. Hari itu cukup istimewa karena cuaca bulan Ramadan di penghujung Juni ini cerah, kuat alasan bagi kami naik sepeda ke tempat yang hanya berjarak sekitar 3 km.
Kali ini kami naik sepeda sendiri. Alifa Mansini naik sepedanya sendiri yang berukuran roda 20 inch. Sudah sejak dua tahun ini Alifa naik sepeda roda dua. Jadi kami bisa bebas dengan sepeda masing-masing di bawah mentari yang cerah. Di perpustakaan kami mengembalikan 12 buku yang sudah habis dilalapnya dua pekan belakangan.
Hari ini kami mencari buku dari tingkatan yang lebih tinggi. Juffrouw Edith, wali kelasnya di kelas 1 SD Dalton Bommelstein kota Almere itu pada kesempatan evaluasi tahunan berpesan bahwa Alifa sudah bisa naik ke buku-buku bacaan tingkat 4E. Pengelompokan itu berdasarkan usia dan kemampuan baca. Alifa yang memang senang baca, mungkin lebih cocok: menjadi senang baca, mulai hari itu boleh memilih buku-buku yang lebih mengandung lebih banyak teks daripada gambar.
Lokasi koleksi bukunya bukan lagi di bagian balita, namun berpindah ke tempat anak-anak 6 tahun ke atas. Karena masih belum mengerti letaknya, penulis dibimbing dengan ramah oleh ibu pegawai Perpustakaan itu. Dia menunjukkan kelompok buku A. Di mana di dalamnya juga ada buku-buku 4E.

Sebagai orang tua, Eka Tanjung hanya bisa berdecak kagum mengamati tawaran buku-buku yang ditata dengan rapi di lokasi yang nyaman. Walaupun sudah puluhan tahun di Belanda, tetap saja setiap kali terkagum-kagum dengan cara kerja orang Belanda ini. Mereka itu serius, apapun diseriusi. Sisi positifnya, produk buatan Belanda lebih kualitas dibanding dengan Indonesia. Tapi di sisi lain Belanda akan stress kalau menghadapi situasi yang genting di luar kendalinya. Sementara kita, orang Indonesia, selalu bisa mencari justifikasi “Untung masih.. anu.”
Alifa yang sekarang berusia 7 tahun, sedang masanya ingin melakukan semua pekerjaannya sendiri. Sikat gigi sendiri, men-scan buku sendiri dan memilih buku kesukaanya juga sendiri. Bahkan dia membacanya buku-buku 4E ini sebelum memasukkan ke keranjang. Perhatiannya terpusat pada buku Pim & Pom, cerita anak-anak yang juga sudah difilmkan.
Perpustakaan Belanda disubsidi untuk membangkitkan semangat baca pada anak-anak dari sejak dini. Gratis, tidak dipungut beaya, anak-anak boleh pinjam 10 buku, asal buku dikembalikan lagi setelah empat pekan. Anak-anak Indonesia semustinya juga berhak mendapat kesempatan membaca. Agar mereka memperoleh peluang yg sama dengan anak-2 di negara yg lebih maju. Masa depan bangsa, ditentukan oleh minat belajar dan membaca pada generasi remaja.
Tampaknya dia melihat dunia yang baru, buku-buku yang menyenangkan. Lebih banyak cerita daripada gambarnya. Jadi ia meminta izin untuk membawa pulang 20 buku, bukan 10 seperti jatahnya. Terpaksa penulis mengorbankan kartu member milik kakaknya.
Semoga dari buku-buku yang dibacanya membawa guna dan manfaat bagi pertumbuhannya menjadi manusia yang mandiri dalam tindak dan keputusannya.
Melihat luapan informasi berupa buku dan arsip, maka rasanya mustahil jika ada anak sekolah di Belanda yang tidak bisa menyelesaikan papernya dengan alasan kurang bahan. Sebab perpustakaan memberikan semua sarana dan prasarana baca.
Eka Tanjung, sebagai orang tua hanya bisa mengantarkan saja ke perpustakaan dan menyemangatinya bahwa buku-buku itu sangat berguna.