Retno Marsudi, Srikandi Bermata Panah “Diversity”

Posted on Updated on

Schermafbeelding 2015-01-13 om 23.05.39Retno Marsudi membawa misi dalam tiap tugasnya. Sebagai Dubes di Norway misi diplomasi Batik, di Belanda giliran Kuliner dan sekarang ini sebagai Menlu tampaknya membawa senjata “Diversitas.” Eka Tanjung mengingat sekelumit langkah Srikandi Indonesia lewat rekaman video acara perpisahan dengan warga Indonesia.

Malam Dingin
Jari-jemari mulai tergelitik menulis sejak nonton Youtube. Ceritanya bermula kemarin dini hari. Selesai membuat tulisan tentang sepak bola Belanda, di malam yang sunyi dan udara di ruang kamar yang mulai ngedrop ke 2 derajat Celsius, aku berencana naik ke kamar di lantai satu untuk tidur. Saya kemasi alat tulis, kertas, bungkus kacang yang terbuka kosong dan berserakan di atas meja. Membawa muk kopi yang nyaris kosong tinggal ampasnya dan gelas bekas minum Air Jeruk yang menyisakan kuning di dasarnya. Ketika itu aku dengar suara.

Video
“bliiing.. bliiing” beberapa kali dari laptop di pojok meja. Pertanda ada pesan atau posting masuk di salah satu media sosial Twitter, Facebook atau email. Ku pijit tombol ‘enter’ untuk membangunkan laptop dari posisi standby nya. Setelah layar menyala terlihat ada beberapa posting dari seorang kawan bernama Wahyu Koen. Perhatianku terhisap ke beberapa video cuplikan dari acara perpisahan Retno Marsudi.

Mencicipi Suasana
Tampaknya Oom Koen ingin share pengalaman dari acara di Rijswijk dekat Den Haag itu kepada kawan-kawan di media Facebook. Kawan yang hanya ku kenal lewat media sosial dan nota bene kami tidak terkait pertemanan, bisa membawa saya mencicipi suasana malam perpisahan. Dengan rekaman video Youtube ini saya jadi bisa melihat kawan-kawan yang hadir dan menyelami perasaan mereka. Untuk itu saya disini ingin berterima kasih pada Oom Wahyu Koen.

Den Haag
Dari 10 video yang diunggah Wahyu ke Youtube, aku tonton hampir semuanya. Terutama sambutan dari Retno Marsudi dan doa bersama. Saya tonton sampai dua kali. Di rekaman berdurasi 10 menitan itu mantan dubes Belanda dan Norway menuturkan tentang sejarahnya dia bertugas di Den Haag periode pertama sebagai diplomat dan kedua sebagai duta besar.

Menlu Retno yang berbekal contekan kertas kecil, mengisahkan proses cepat penunjukkannya menjadi Menteri Luar Negeri. Dan menyampaikan rasa bangga, sebagai wanita pertama Indonesia yang menjabat menteri luar negeri. Dia menyadari beratnya tugas sebagai Menlu.

Lalu ungkapan syukur atas perampungan tugasnya di Belanda. Dan dia terkesan merasa misinya berhasil mempererat hubungan Belanda-Indonesia. Dia menyebutkan puncak hubungan baik dan kepercayaan Indonesia Belanda dengan terbentuknya Kemitraan Komprihensif. Silakan saksikan pesannya di video ini:

Diplomasi Kuliner
Dengan hubungan yang begitu pelik antara Indonesia dan Belanda, dubes ini mampu mencapai kesepakatan kemitraan kedua negara dan mengundang PM Mark Rutte datang ke Jakarta. Padahal usai menyerahkan surat-surat kepercayaannya kepada Ratu Belanda, dia menyebutkan misinya adalah Diplomasi Kuliner.

“Whaaat…” pikir banyak orang ketika mendengar Diplomasi Kuliner. Tapi ternyata kita bisa menyimpulkan beberapa tahun kemudian. Itu adalah bahasa diplomasi Jawa.
Saya jadi ingat cerita Eyang Kakung Sastrodiwirjo yang mantri Polisi di Gemolong dan Sumberlawang di era tahun 1960an. Beliau sering menangani kasus kejahatan begal atau pencurian sapi. Menurut eyang putri, Kakung kalau datang ke rumah orang yang dimintai keterangan dan kesaksian, jawabannya sama.

Kalau si tuan rumah bertanya: Ada apa datang ke mari pak matri?
Kakung: Ora ono opo-opo, saya cuman ingin mampir minta minum saja. (Mampir ngombe)

Nah ini yang saya perhatikan ada di Menlu Retno juga. Ternyata sambil berkuliner ‘diselingi’ obrolan serius. Mantan siswa SMA 3 Semarang itu di depan seratusan tamu undangan, menyatakan rasa terhormat dengan penugasan selama di Belanda, negara bermasyarakat Indonesia yang besar. Ia menikmati di Belanda dan merasa diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia. Menurut Eka Tanjung, sejauh itu kata sambutannya standar dari seorang diplomat yang ulung. Itu memang pekerjaannya sehari-hari. Tekankan yang positif dan hindari ungkapan pedas.
Saya melihat inti penyampaian Menteri Luar Negeri Indonesia yang lebih penting. “Saya mendapat tugas yang tidak mudah sebagai menlu.” Mmmm.. Ya memang semua tugas tidak ada yang mudah, kalau dikerjakan secara serius. Atau ungkapan itu menyimpan arti yang lebih dalam?

Arah Indonesia
Sebagai Menlu, malam kemarin Retno Marsudi bermain keren. Dia pakai kesempatan bicara di Belanda untuk menyampaikan pesan yang jelas tentang satu sisi penting arah Indonesia beberapa tahun ke depan. Sebagai wartawan, Eka Tanjung biasa menilai sikap seseorang ketika menanggapi suatu kejadian besar.

Retno Marsudi menyampaikan keprihatinan akan pembunuhan belasan pekerja tabloid satir, Charlie Hebdo di Paris.
“Kita prihatin dengan kejadian di Paris, yang mengatasnamakan apapun. Itu sebenarnya tidak boleh terjadi.” Itu ungkapan standar yang juga akan disampaikan pada pidato di depan publik Belanda atau internasional.

Eka Tanjung melihat imbauan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia di Belanda dan di Indonesia disini:

“Indonesia adalah negara yang sangat majemuk…. Saya ingin bangsa Indonesia yang berbeda-beda, menebarkan cinta kasih kepada dunia. .. Sehingga dengan perbedaan, kita bisa hidup damai di dunia ini.”

Pesan yang terkandung ini sebenarnya mengena langsung kepada bangsa Indonesia, dimana pun. Termasuk di Belanda. Eka Tanjung melihat saat ini bangsa Indonesia masih terkotak-kotak menjadi kubu-kubu pasca pemilu presiden. Polemik pilpres ini masih terasa dan memperkuat ketidakakuran yang sudah ada dalam masyarakat muslim Indonesia di Belanda.

“Dengan perbedaan kita bisa hidup damai. make the world safer for diversity. Jadikan dunia ini tempat yang lebih aman dengan kemajemukan.”

“make the world safer for diversity”

Pamitan
Retno dengan sopannya, berpamitan pada masyarakat Indonesia yang hadir maupun yang tidak bisa hadir di Rijswijk. “Saya pulang dengan rasa senang. Saya tahu, meninggalkan cinta kasih. Silaturahmi yang tidak terputus. Sebagai anak bangsa, kita teruskan persaudaraan. Indonesia majemuk. Majemuk ini harus dikedepankan kepada dunia. Minta maaf kalau ada kesalahan. Terima Kasih, Terima Kasih dan Terima Kasih.”

Eka Tanjung ikut terharu dan memang mengakui karir melejit yang dijalani Srikandi asal Semarang kelahiran 27 November 1962 itu. Orangnya sederhana, pendapatnya tajam dan ingatannya kuat. Mulai sekarang ia bersenjatakan panah bertuliskan: “make the world safer for diversity” Siap mengarungi dunia. Semoga ia sukses dengan misinya. DAN rakyat Indonesia juga bisa memaknai arti diversitas itu. Jangan sampai Indonesia sukses meyakinkan dunia menjadi “safer for diversity” tapi di dalam negeri masih saja gantok-gontokan karena perbedaan.

Seumpama sosok Retno adalah Gajah, maka tulisan ini hanya pendapat dari satu sisi ganjah itu. Saya tidak melihat dari ekornya dan tidak dari atas, tapi dari samping dengan rasa hormat dan kagum. Perempuan kecil tapi bernyali Gajah!

Tautan: Reno Marsudi Pulang, Saya ingin Sedih jadi Tertawa.

Penulis: Eka Tanjung