Retno Marsudi Pulang, Aku Sedih dan Tertawa

Posted on Updated on

Schermafbeelding 2015-01-13 om 23.05.39
Saya sempat sedih tidak diundang ke acara perpisahan Menlu Retno Marsudi dengan masyarakat Indonesia di Belanda. Namun akhirnya kesedihan terhibur oleh-oleh Oom Wahyu Koen. Ceritanya begini..

Selasa dini hari 13 Januari 2015 saya kesulitan mengartikan perasaan ketika menyaksikan tayangan video Youtube dari acara perpisahan Dubes Retno Marsudi dengan masyarakat Indonesia di Belanda. Saya sejatinya merasa dekat dengan mantan Dubes Belanda itu, tapi juga sekaligus merasa jauh.

Retno_Oslo_02
Dubes Retno menjamu tim RNW, 19-03-06

Sejarahnya begini..
Pada tahun 2006 saya bertemu Bu Retno pertama kali di Oslo Norwegia ketika bertugas sebagai Dubes di negeri itu. Saya ke Skandinavia dalam rangka liputan Wisnu Witono Adhi, anak Jakarta yang lolos babak akhir Idols Norway.

Kami bertiga dari Radio Nederland merasa diterima dengan baik oleh Retno Marsudi dan para diplomat Indonesia di Norway yang kebetulan sedang menggelar acara pameran Batik.

Dari pertemuan pertama itu Eka Tanjung bisa menangkap kesan, dubes ini terus melakukan promosi Indonesia di setiap kesempatan. Dan kedua dia tegas, kecil-kecil cabe rawit. Dalam wawancara soal konflik Aceh waktu itu, aku dengar sikap tegasnya terhadap Belanda.

“Kalau negara seperti Norway mengkritik soal HAM di Indonesia, kami bisa terima. Tapi kalau kritik itu datangnya dari Belanda, kita tidak bisa terima. Karena kita mengalami penjajahan oleh Belanda.” (Retno Marsudi, 2006)

Retno_Oslo_03
Wisnu Witono, live onair dengan Bens FM Jakarta, 18-3-06

Mendengar pemaparan itu, saya bukannya membenci tapi justru kagum padanya. “Weits.. ini bukan dubes sembarangan.” pikir saya. Pendek kata saya punya alasan untuk ketemu lagi dengan mantan dubes Norway dan Belanda, sebelum kembali ke Indonesia.

Sejatinya aku punya beberapa butir menarik dan penting bagi KBRI Den Haag yang bisa aku sampaikan menyangkut hubungan Indonesia dan Belanda. Tapi mungkin itu aku simpan saja untuk dubes yang baru.

Wajar Kecewa
Malam kemarin sambil menyaksikan beberapa video Youtube unggahan oom Wahyu aku berpikir:”Lho ternyata acara perpisahannya hari ini tho. Padahal aku kan ingin hadir juga. Kok tidak menerima undangan”

Rasa itu yang tersirat dalam benak. Tapi kemudian, saya sadar diri sambil nampar-nampar pipi. “Lha emang lu siapa? kok mengharapkan diundang acara menlu?” Perang emosi jiwa itu yang sejenak berkecamuk. Namun akhirnya tawa jua yang jadi pemenangnya.

KBRI dan Diaspora Indonesia
Kalau saya malam itu diundang kan minimal bisa kasih saran puluhan karyawan KBRI Den Haag dan anggota Diaspora Indonesia agar lebih kompak lah. Sepertinya mereka ingin mengungkapkan terima kasih dan kata berpisah.

Semuanya serempak dan kompak naik ke panggung untuk menunjukkan kehadiran. Sepertinya ingin menyampaikan pesan ke mantan bos, “Lho nih saya juga ada ya. Nih saya mau ikut nyanyi.”
Mereka bawa kertas lirik lagu, tampaknya seperti yang ingin bernyanyi. Dari penampilannya mereka bersemangat di depan bakal Menlu. Semuanya berteriak dan membuka mulut tapi yang terdengar hanya suara dari satu dan dua penyanyi yang pegang microfoon.

Kelompok Vocal Group dari KBRI punya dirigent yang ngasih komando. Sedikit ada kekompakan. Hanya Mas Danang Waskito tampak navigasinya sedang rusak. Haji dari Gemolong itu pegang mic tapi, menghadap ke belakang. Mungkin karena dia tidak bawa kertas jadi terpaksa membaca lirik lagu dari proyektor.

Selama lagu didendangkan, para anggota vocal group Diaspora itu jadi pada bingung sendiri. Berdiri sambil goyang-goyang. Sejatinya bukan menyanyi, bukan juga joged apalagi menari, juga bukan. Kasihan yang paling depan dan tidak kebagian kertas contekan untuk nyanyi.

Di kelompok Diaspora ada lagi yang lucu. Di ujung kanan kita lihat ada seorang yang ikut nyusup tapi mungkin bukan anggota Diaspora. Dan di belakang tengah, ada satu orang pegang perkusi, tapi dia sepertinya sadar tepukannya hanya play back saja.

Ebed Litaay
Aku paling kagum pada Ebed Litaay. Walaupun dia bukan yang paling kurus di antara artis yang baris di panggung, tapi dia paling lincah. Goyangannya pas, irama musik. Sayang suaranya tidak tertangkap microfoon. Aku duga suaranya empuk mirip almarhum Barry White. Beda sekali dengan sepasang dua remaja di tengah depan. Bingung mengambil peran mau nyanyi tidak kenal teks, sedangkan kertas terbatas.  Mau goyang gak berani, mau pergi juga takut. Kasihan sebenarnya.

Saran Saja
Mohon lain kali kalau ada acara begini lagi, sudah lah … dua orang saja yang tampil ke panggung. Ibu Retno juga tahu dua penyanyi juga mengatasnamakan seluruh jajaran.  Bukan dari team KBRI saja yang menghibur. Kawan-kawan dari Diasporan Indonesia juga sama. Kebanyakan buka mulut tapi yang terdengar cuman satu penyanyi, suaranya sih lumayan bagus. Yang lainnya hanya goyang-goyang saja, sebagai pelengkap.

Lebih pandai sebenarnya ibu-ibu Darma Wanita KBRI Den Haag. Mereka tampil di panggung lebih rapi, dan melambai-lambaikan bunga Tulip. Gerakannya lebih kompak dan tampak lebih banyak persiapan. Bajunya dicoba seragam. Walaupun mereka juga tidak bisa nyanyi apalagi lagu Belanda, “Tulpen uit Amsterdam.”

Terhibur
Saya benar-benar senang dan terhibur dengan oleh-oleh dari Oom Wahyu Koen itu.  Pokoknya sudah lah.. yang penting kan niatnya. Semoga oom Wahyu tidak menghapus postingnya setelah tulisan ini. Karena itu menjadi hiburan yang bisa menghilangkan kesedihan saya tidak bisa menyalami Bu Retno Marsudi sebelum kembali ke Indonesia menunaikan tugas baru yang tidak mudah.

Deklarasi Bersama
Terlepas dari itu saya melihat ada hiburan menarik, tarian, angklung dan juga deklarasi bersama tokoh-tokoh agama mengutuk kejadian di Paris. Bu Retno jelas sangat kagum dengan aksi bersama itu. Dia terlihat menengadahkan mukanya ke sang suami Agus Marsudi yang berdiri di sampingnya, seperti berkata. “Apik temenan iku. Kudune yo ngono kui.”

Eka Tanjung juga mengamati dengan seksama pesan yang disampaikan Menlu Retno Marsudi di acara perpisahan. Baca di sini “make the world safer for diversity”